Situasi perang antara Rusia dan Ukraina mempersulit banyak negara-negara dunia untuk membangkitkan perekonomian, yang juga masih terdampak dan dalam bayang-bayang pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan resesi ekonomi dunia tahun 2020, termasuk Indonesia dan DI Yogyakarta, namun demikian perekonomian Indonesia dan DIY sudah bangkit dan melepaskan diri dari resesi sejak 2021, dimana tahun 2022, di tengah gejolak ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan sekitaran pada angka 5,2%, dan untuk DIY juga pada kisaran yang sama. Hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Widya Mataram (UWM), Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. dalam Bincang Santai Ekonomi Syariah Jum’at Malam (BISMALAM) dengan tema “Ancaman Resesi Dunia 2023: Peluang dan Tantangan pada Ekonomi Indonesia” pada Jumat (6/1) di ruang virtual zoom meeting yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 jauh melampaui pertumbuhan 2021 yang hanya 3,69%, sedangkan pertumbuhan ekonomi DIY 2022 sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya yang cukup fantastis 5,53%, demikian diungkapkan mantan Ketua APTISI ini. “Lembaga ekonomi dan riset terkenal, Bloomberg, pertengahan tahun lalu menyampaikan hasil risetnya bahwa kemungkinan resesi ekonomi tahun 2023 utamanya mengenai pada negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang probabilitasnya 40%-55%, dimana Indonesia dinilai cukup baik, namun tetap saja ancaman resesi dengan probabilitas hanya 3% dan tingkat probabilitas resesi Indonesia lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, seperti Filipina (8%), Thailand (10%), Vietnam (10%), dan Malaysia (13%),” terangnya.
Ketua Dewan Pakar MES DIY ini mengemukakan jika ramalan yang positif tentang RI harus dijadikan sebagai pil untuk membangun optimisme, terlebih jika dilihat pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang lebih 5% masih cukup baik, jauh di atas rata-rata global yang diperkirakan hanya pada kisaran 3%. “Dengan situasi perekonomian dunia yang merosot, kita seyogyanya harus lebih banyak melihat kedalam, inward looking policy, dengan tanpa sama sekali mengabaikan hubungan ekonomi global yang bagaimana pun tetap tidak bisa dihindarkan, karena jika dilihat struktur Produk Domestik Bruto Indonesia, lebih separuh ditopang konsumsi rumah tangga (C), dan bukan dari ekspor-impor, yang berarti, perekonomian Indonesia sendiri potensinya cukup besar, yang bisa dijadikan pasar dan menggerakkan produksi dalam negerinya,” tambahnya.
Lebih lanjut, anggota Paramparapraja ini menambahkan bahwa situasi politik dan keamanan di tanah air yang cenderung memanas menjelang Pemilihan Umum (pemilu) juga harus dijaga agar tidak kontra produktif terhadap perekonomian. “Stabilitas politik merupakan salah satu variabel yang dilihat pelaku ekonomi global untuk melaksanakan transaksi ekonomi atapun investasi ke suatu negara, dan akan memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi dunia untuk beraktivitas ekonominya di tanah air, oleh karena itu, diharapkan tidak terjadi berbagai “akrobat” politik yang dapat menimbulkan ketidakpastian, dan bisa berpengaruh pada berbagai variabel dalam index “ease of doing business” di tanah air,” tegasnya.
Sebagai penutup, Prof Edy menunjukkan bahwa ekonomi syariah terbukti merupakan solusi ketika terjadi krisis, dengan mencontohkan ketika terjadi krisis tahun 1998. "Ekonomi syariah harus diimplementasikan untuk ekonomi yang berkemajuan dan berkeadilan," tutupnya.
Humas@UWM