Di tengah duka dan kepanikan warga di tiga provinsi terdampak banjir besar di Sumatera, publik mempertanyakan alasan pemerintah belum menetapkan status bencana nasional. Meski kerusakan infrastruktur, jumlah korban, serta cakupan wilayah tergolong luas, pemerintah pusat memilih untuk tetap melakukan respons tanpa mengubah status penanganan bencana.
Menanggapi hal tersebut, dosen Ilmu Pemerintahan sekaligus pakar manajemen bencana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rahmawati Husein, MCP., Ph.D., menjelaskan bahwa penetapan status bencana nasional tidak hanya ditentukan oleh besarnya dampak, tetapi juga oleh indikator hukum dan kapasitas pemerintah daerah.
“Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status keadaan darurat bisa ditetapkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah sesuai skala bencananya. Salah satu indikatornya adalah ketika daerah tidak lagi mampu menangani dampak bencana,” jelasnya dalam wawancara daring, Jumat (05/12).
Rahmawati menambahkan bahwa hingga saat ini pemerintah menilai struktur pemerintahan di daerah terdampak masih berfungsi dengan baik. Pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dinilai tidak lumpuh dan masih mampu menjalankan koordinasi serta pelayanan publik.
“Karena pemerintah daerah masih bisa bekerja, status bencana nasional belum diperlukan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa tidak ditetapkannya status bencana nasional bukan berarti pemerintah pusat pasif. Dukungan logistik, sumber daya manusia, hingga teknologi terus dimobilisasi dalam skala besar.
“Saat ini BNPB mengerahkan lebih dari 50 pesawat, helikopter, dan alutsista TNI untuk operasi kemanusiaan. Secara operasional, dukungan yang diberikan sudah setara dengan penanganan bencana nasional,” tegasnya.
Rahmawati juga menjelaskan bahwa mekanisme penetapan status tidak sepenuhnya bersifat top-down. Pemerintah daerah dapat mengusulkan penetapan status nasional apabila kapasitas mereka betul-betul tidak mencukupi. Model kebijakan ini memungkinkan evaluasi dua arah agar penentuan status tidak hanya dipengaruhi pertimbangan politis, tetapi berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan.
Selain dukungan logistik dan personel, koordinasi lintas kementerian juga terus dilakukan melalui rapat rutin yang dipimpin Presiden maupun Kementerian Koordinator. Pemerintah memastikan bahwa penanganan mencakup respons cepat sekaligus rencana pemulihan jangka panjang.
“Kementerian Keuangan bahkan telah menyatakan komitmen menyediakan anggaran dua triliun rupiah untuk korban banjir,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa strategi pemerintah saat ini berorientasi pada kolaborasi semua sektor, termasuk kluster kesehatan, logistik, perlindungan sosial, dan pemulihan infrastruktur. Prinsip no one left behind menjadi komitmen untuk memastikan seluruh kelompok terdampak, termasuk yang rentan dan marginal, menerima bantuan yang layak.
“Pada dasarnya, yang membedakan hanya status administratif. Karena dari sisi dukungan, pemerintah pusat sudah mengerahkan sumber daya maksimal untuk membantu daerah,” pungkasnya. (Jeed)