Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof. Dr. Saldi Isra, M.P.A., menegaskan pentingnya independensi dan ketahanan hakim terhadap berbagai bentuk intervensi, mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki MK. Hal tersebut disampaikannya dalam Dialog Konstitusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Jumat (14/11), yang dirangkaikan dengan peresmian Ruang Sidang MK di Fakultas Hukum (FH) UMY.
Acara yang turut dihadiri Ketua MK RI, Dr. Suhartoyo, S.H., Rektor UMY, jajaran pimpinan universitas, serta mahasiswa ini menjadi ruang diskusi terbuka mengenai dinamika peradilan konstitusi di Indonesia.
Dalam pemaparannya, Saldi menyoroti istilah populer “no viral no justice” yang kerap muncul di masyarakat. Menurutnya, konsep keadilan yang bergantung pada viralitas mungkin relevan untuk kasus-kasus konkret, namun tidak bisa diterapkan pada kasus abstrak yang menjadi kewenangan MK.
“Kalau kata orang-orang, no viral no justice. Jadi kalau tidak diviralkan dulu, tidak adil. Nah, dalam konteks kasus yang abstrak, itu tidak bisa,” ujar Saldi.
Ia mencontohkan sejumlah kasus yang pernah menyedot perhatian publik, seperti kasus Nenek Minah atau kasus guru di Sulawesi yang dipecat karena meminta bantuan orang tua murid untuk menggaji guru honorer yang berbulan-bulan tidak menerima honor. Menurutnya, kasus-kasus konkret semacam ini memang memiliki keterkaitan erat dengan opini publik.
Namun, untuk pengujian undang-undang di MK yang sifat normanya abstrak, ia mempertanyakan sejauh mana opini publik dapat memengaruhi hakim. “Seberapa jauh opini publik memengaruhi hakim, saya belum menemukan buktinya,” tegasnya.
Terkait isu intervensi, Saldi menyampaikan bahwa anggapan bahwa hakim “tidak boleh diintervensi sama sekali” sudah tidak realistis, terutama bagi lembaga sekuat MK yang kewenangannya diberikan langsung oleh Pasal 24C UUD 1945.
“Pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh diintervensi itu terlalu ideal. Wajar saja orang berupaya mengintervensi atau memengaruhi MK, dengan kewenangan sebesar itu,” jelasnya.
Karena itu, tantangan utama justru terletak pada kemampuan menemukan hakim dengan ketahanan integritas yang kuat sehingga tidak goyah oleh tekanan politik maupun masyarakat.
“Yang harus kita siapkan adalah bagaimana menemukan hakim yang bisa tahan terhadap intervensi itu,” lanjutnya.
Saldi juga menyoroti pentingnya proses seleksi sebagai langkah awal menghasilkan hakim yang benar-benar independen. Ia bahkan membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan menilai proses seleksi hakim agung di AS jauh lebih sarat kepentingan politik.
Ia mencontohkan Mahkamah Agung AS yang baru mengesahkan court of ethics pada tahun 2023, setelah adanya kasus pelanggaran etik oleh Hakim Clarence Thomas. Ironisnya, meskipun kode etik sudah diberlakukan, tidak ada mekanisme penegakan yang jelas.
Sebaliknya, MK RI sudah memiliki mekanisme penegakan etik yang berjalan. “Kita sudah pernah memberhentikan Pak Akil Mochtar, pernah juga memberhentikan Pak Patrialis Akbar karena melanggar etik. Artinya, sistem bekerja,” tegasnya. Ia juga menyebut keberadaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai kanal resmi pelaporan.
Menutup pemaparannya, Saldi menekankan pentingnya menjaga integritas secara personal. Salah satunya adalah dengan tidak aktif di media sosial guna menghindari arus opini maupun informasi yang tidak terverifikasi.
Ia juga berpesan kepada mahasiswa Fakultas Hukum UMY untuk menjadikan putusan-putusan pengadilan sebagai bacaan utama selain buku teks. Menurutnya, konsistensi putusan MK sangat berkaitan dengan prinsip nebis in idem, yakni memastikan norma yang pernah diuji tidak diuji kembali kecuali dengan alasan yang berbeda.
Acara peresmian Ruang Sidang MK FH UMY dan Dialog Konstitusi ini menandai komitmen MK RI dan UMY dalam meningkatkan pemahaman serta penegakan hukum konstitusi di Indonesia. (FU)