Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia hingga saat ini masih tergolong rendah, bahkan tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN. Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., mengungkapkan bahwa capaian APK pendidikan tinggi Indonesia yang hanya sekitar 32% menunjukkan masih banyaknya tantangan dalam membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.
Dalam data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada Desember 2024, APK perguruan tinggi untuk kalangan laki-laki dan perempuan yang berusia 19 hingga 23 tahun tercatat 32%. Namun, angka tersebut masih jauh di bawah beberapa negara di ASEAN, seperti Malaysia dengan APK mencapai 43%, Thailand dengan 49,29%, dan Singapura yang bahkan sudah mencapai 91,09%, menurut laporan World Bank pada tahun 2022.
“Jika kita lihat Human Development Index (HDI), Indonesia masih di bawah rata-rata ASEAN, bahkan tertinggal dari Thailand, Filipina, atau Vietnam. Padahal salah satu pilar utama HDI adalah pendidikan, terutama kemampuan literasi, berpikir kritis, dan menganalisis situasi. Dengan APK pendidikan tinggi yang rendah, otomatis kontribusi SDM kita terhadap pembangunan juga rendah,” ujar Prof. Zuly saat diwawancarai pada Jum’at (1/8).
Zuly menyoroti rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Pandemi Covid-19 menjadi pukulan telak bagi masyarakat Indonesia, mengakibatkan banyak unit usaha kecil dan menengah yang gulung tikar, sehingga pendapatan menurun drastis. Bahkan setelah pandemi, krisis ekonomi global memperburuk situasi ini.
“Selain itu, minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi kini juga dipengaruhi oleh relevansi program studi dengan dunia kerja. Banyak lulusan SMA yang lebih memilih melanjutkan ke sekolah vokasi atau langsung bekerja, karena mereka menganggap perguruan tinggi tidak menawarkan prospek kerja yang jelas,” tambahnya.
Ia menilai masyarakat kini semakin realistis dalam menentukan pilihan pendidikan. Jika program studi di perguruan tinggi tidak menawarkan prospek kerja yang jelas setelah lulus, mereka lebih memilih berhenti di jenjang SMK atau mengikuti pelatihan singkat yang langsung menghasilkan. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi perguruan tinggi untuk lebih responsif dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Sejalan dengan itu, Zuly menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung akses pendidikan tinggi yang lebih inklusif dan relevan. Pemerintah perlu mengembangkan lebih banyak program vokasi berbasis kebutuhan industri dan memperluas akses beasiswa, khususnya Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) bagi mahasiswa dari keluarga tidak mampu. Ia juga mendorong perguruan tinggi untuk memberikan skema keringanan pembayaran, seperti cicilan biaya kuliah yang lebih fleksibel.
“Biaya pendidikan tinggi harus dipermudah, misalnya dengan model angsuran dua hingga tiga kali dalam satu semester agar mahasiswa tidak terbebani. Selain itu, beasiswa KIP harus terus ditingkatkan dan diperluas cakupannya, terutama bagi anak-anak di desa yang memiliki potensi namun terhambat oleh biaya,” kata Zuly.
Melihat kondisi tersebut, UMY kini tengah berupaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan zaman. UMY berencana membuat kurikulum berbasis kewirausahaan dan Artificial Intelligence (AI).
“Entrepreneurship itu bukan hanya soal berdagang, tapi bagaimana dosen dan mahasiswa memiliki daya imajinasi, kreativitas, dan inovasi yang bisa dikapitalisasi. Kami dorong mahasiswa untuk menjual ide, jasa, dan pengetahuan, sehingga mereka mampu menciptakan peluang kerja sendiri,” ujar Zuly.
Selain itu, Kampus Muda Mendunia ini membuka akses lebih luas bagi mahasiswa melalui beragam beasiswa, baik dari internal Muhammadiyah, Lazismu, perbankan, hingga beasiswa tahfidz dan olahraga. Langkah ini dilakukan agar semakin banyak generasi muda yang bisa mengakses pendidikan tinggi meskipun dengan keterbatasan ekonomi.
“Perguruan tinggi harus menyesuaikan metode pengajaran dengan era digital. Dosen harus mengubah mindset, tidak bisa lagi mengajar dengan cara lama. Untuk generasi muda, semangat untuk terus belajar dan mencari hal baru adalah kunci untuk bisa bersaing di masa depan,” tegas Zuly. (NF)