Angka Agnostik di Indonesia Capai 36 Persen, Dosen HI UMY: Kaum Muslimin Harus Ambil Peran dalam Produksi Pengetahuan

Fenomena agnostisisme di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Pew Research Center tahun 2023, sebanyak 36 persen masyarakat Indonesia menyatakan diri sebagai agnostik, atau tidak lagi mengakui afiliasi terhadap agama tertentu.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si., dalam wawancara pada Jumat (17/10) di Ruang Dosen Prodi HI UMY. Ia menyebut fenomena ini sebagai sesuatu yang unik sekaligus mengkhawatirkan. “Gejala ini unik sekaligus mengerikan,” ujar Surwandono.

Surwandono menyoroti salah satu penyebabnya, yakni pergeseran pengaruh dan otoritas keagamaan di media sosial. Ia bahkan sempat menyoroti perbandingan di platform TikTok antara akun dakwah dan akun yang berafiliasi dengan paham agnostik.

“Saya bandingkan jumlah subscriber akun TikTok Majelis Tabligh Muhammadiyah dengan salah satu akun yang berafiliasi pada agnostisisme. Jumlah subscriber-nya kalah jauh,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Surwandono menjelaskan bahwa tingkat keterlibatan (engagement) pada konten video yang berafiliasi dengan agnostisisme juga tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan konten keagamaan. Menurutnya, fenomena ini menjadi alarm bagi umat Islam untuk melakukan introspeksi terhadap cara mereka memproduksi dan menyebarluaskan pengetahuan keislaman di era digital.

Regresi Pengetahuan dan Tanggung Jawab Umat

Surwandono menilai bahwa meningkatnya angka agnostik dan derasnya pengaruh media sosial tidak lepas dari regresi atau kemunduran dalam produksi pengetahuan Islam di kalangan umat.

“Ini tanggung jawab siapa? Karena tren produksi pengetahuan kaum muslimin tentang Islam justru mengalami regresi,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa jika pengetahuan tentang Islam dibiarkan diproduksi oleh pihak di luar umat Islam, maka akan muncul narasi yang kontraproduktif terhadap ajaran Islam itu sendiri.

“Kalau kita membiarkan pengetahuan tentang Islam diproduksi oleh bukan kaum muslimin, maka kita bisa menilik peringatan dalam Surat Al-Hujurat. Bila pengetahuan itu ditulis oleh orang-orang munafik, maka dampaknya akan kontraproduktif bagi Islam,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Surwandono menegaskan bahwa tanggung jawab untuk memproduksi dan menyebarkan pengetahuan keislaman harus dipikul bersama oleh kaum muslimin, termasuk lembaga pendidikan seperti UMY.

“Tugas kita bersama adalah memproduksi pengetahuan. Dengan produksi pengetahuan itu, kita bisa memimpin kaum muslimin,” pungkasnya.

Surwandono menutup dengan menegaskan bahwa tujuan utama dari produksi pengetahuan adalah membimbing umat Islam agar semakin dekat dengan agamanya serta semakin taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. (FU)


BAGIKAN