Kasus paparan radioaktif yang terjadi di Cikande dan Surabaya dalam beberapa hari terakhir memicu kekhawatiran publik. Zat radioaktif yang teridentifikasi sebagai Cesium-137 (Cs-137) diduga menjadi sumber kontaminasi di lingkungan industri dan bahkan masuk ke rantai makanan. Dari sisi kesehatan, paparan radioaktif memiliki dampak yang tidak kasatmata, tetapi bisa menimbulkan kerusakan serius pada tubuh manusia.
Ahli Radiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. dr. Ana Majdawati, M.Sc., Sp.Rad(K) TR, menilai kasus ini merupakan bentuk kontaminasi radiologi lingkungan yang harus disikapi dengan pendekatan multidisipliner.
Menurutnya, bahaya radiasi terletak pada sifatnya yang tidak dapat dilihat atau dirasakan secara langsung. Energi radiasi dapat menembus jaringan tubuh dan merusak sel secara perlahan tanpa disadari. Dampaknya pun bervariasi, mulai dari gejala akut hingga kronis, tergantung pada besar dosis yang diterima seseorang.
“Untuk dosis tinggi, efeknya bisa muncul dalam hitungan hari hingga minggu, seperti mual, muntah, diare, atau kemerahan pada kulit akibat Acute Radiation Syndrome (ARS),” jelas dr. Ana dalam wawancara daring, Senin (6/10).
Meski dampak dosis tinggi lebih cepat terlihat, dr. Ana menekankan bahwa paparan dosis rendah yang terjadi terus-menerus justru jauh lebih berbahaya. Paparan kecil dapat memicu kerusakan sel dan kromosom tanpa gejala, yang dalam jangka panjang berisiko menyebabkan penyakit degeneratif dan karsinogenik seperti kanker.
“Paparan radiasi dalam dosis kecil bukan berarti aman. Efeknya bersifat silent, bisa berjalan bertahun-tahun tanpa disadari, hingga akhirnya menimbulkan gangguan serius pada jaringan tubuh,” terangnya.
Kelompok masyarakat tertentu disebut memiliki risiko lebih tinggi terhadap dampak radiasi, di antaranya anak-anak, ibu hamil, dan lansia. “Anak-anak masih dalam tahap pembentukan sistem imun, sedangkan ibu hamil memiliki daya tahan tubuh yang menurun. Jika paparan terjadi pada trimester pertama, saat organ janin mulai terbentuk, dampaknya bisa mengganggu perkembangan organ,” papar dr. Ana.
Ia menambahkan, organ tubuh memiliki tingkat kepekaan berbeda terhadap radiasi. Jaringan yang aktif membelah seperti sumsum tulang, kelenjar tiroid, ovarium, dan prostat termasuk yang paling rentan mengalami kerusakan walau hanya terpapar sedikit.
Karena itu, tindakan cepat dan tepat sangat diperlukan ketika ditemukan dugaan paparan radiasi. Langkah awal berupa isolasi dan dekontaminasi harus dilakukan untuk mencegah penyebaran lebih luas, diikuti pemeriksaan medis serta pemantauan dosis radiasi pada korban.
“Pekerja yang berpotensi terpapar radiasi seharusnya menggunakan alat pemantau dosis seperti film badge. Alat ini mencatat jumlah paparan yang diterima dan harus dievaluasi secara rutin agar risiko kesehatan jangka panjang bisa ditekan sedini mungkin,” tegasnya.
Menanggapi insiden yang menimbulkan korban akibat lemahnya pengawasan bahan radioaktif, dr. Ana menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap standar keselamatan radiasi di lingkungan industri.
“Pemerintah harus memastikan setiap pabrik memiliki standar perlindungan lingkungan yang memadai, menyediakan alat pelindung diri seperti apron timbal, serta memperhatikan asupan gizi pekerja. Makanan tinggi protein dan sayuran dapat membantu tubuh melawan efek radiasi,” tutupnya. (NF)