Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) telah membuka peluang besar sekaligus tantangan baru bagi dunia akademik. Di lingkungan riset kampus, berbagai alat berbasis AI seperti ChatGPT dan Elicit kini mulai dimanfaatkan tidak hanya untuk pencarian referensi, tetapi juga dalam merancang model konseptual, menguji kebaruan riset, hingga mempercepat analisis data. Kolaborasi antara peneliti dan AI ini menandai transformasi cara berpikir ilmiah di era digital.
Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Ietje Nazaruddin, M.Si., Ak., CA., CACP, dosen Magister Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dalam salah satu sesi Matrikulasi Tahap I Mahasiswa Baru Pascasarjana UMY Tahun Akademik 2025/2026 yang digelar pada Jumat (10/10) di Gedung KH Ibrahim Lantai 5.
Menurut Ietje, keunggulan utama AI dibanding manusia terletak pada kemampuannya mengolah big data dari berbagai sumber di seluruh dunia. Dengan jangkauan data yang luas, AI mampu memberikan wawasan lintas disiplin yang memperkaya perspektif peneliti. Meski demikian, ia menegaskan bahwa kendali intelektual dan penalaran ilmiah tetap harus berada di tangan manusia.
“Kalau dulu mencari tema riset bisa memakan waktu berhari-hari, sekarang tidak lagi. Dengan ChatGPT, cukup tuliskan perintah atau prompt yang jelas, kita bisa langsung mendapatkan sepuluh topik riset terbaru lengkap dengan deskripsi dan tren tiga tahun terakhir. Mahasiswa hanya perlu menyesuaikannya dengan minat dan konteks penelitian,” jelas Ietje.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hasil optimal dari AI sangat bergantung pada kemampuan peneliti dalam memberikan instruksi yang tepat. Terminologi yang digunakan harus spesifik, terukur, dan sebaiknya dalam bahasa Inggris agar hasil yang diperoleh selaras dengan literatur internasional. Karena itu, kemampuan prompt engineering kini menjadi keterampilan baru yang wajib dikuasai peneliti masa kini.
Namun, Ietje menekankan bahwa proses riset tidak berhenti setelah AI menghasilkan saran topik atau referensi. Setiap temuan tetap harus diverifikasi melalui basis data akademik resmi seperti Scopus, ScienceDirect, atau database milik Perpustakaan Nasional.
“AI bukan pengganti dosen pembimbing. Ia hanya partner diskusi yang memberikan perspektif baru. Setelah AI memberi saran teori atau model, mahasiswa tetap harus memverifikasi dengan jurnal asli. Jangan 100 persen percaya pada AI, karena kadang ia bisa memberikan rujukan fiktif atau tidak akurat,” tegasnya.
Ietje juga mengingatkan pentingnya menjaga integritas dan etika akademik dalam penggunaan AI. Beberapa jurnal internasional kini mewajibkan peneliti untuk mencantumkan pernyataan penggunaan AI dalam proses penelitian, sebagai bentuk transparansi ilmiah.
“AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti pemikiran manusia. Gunakan secara etis dan bijak. AI bisa menjadi mitra intelektual yang memperluas wawasan, tetapi tetap diperlukan kemampuan berpikir kritis dan validasi ilmiah agar hasil penelitian tetap kredibel dan bermakna,” pungkasnya. (NF)