Israel Serang Suriah, Pakar UMY Sebut Ini Bagian dari Pola Agresi Militer yang Menguji Reaksi Dunia

Serangan udara Israel terhadap Kantor Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Suriah di Damaskus beberapa waktu lalu kembali memicu ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Aksi militer sepihak ini mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk Pakar Keamanan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Sugeng Riyanto, S.IP., M.Si.

Israel secara resmi mengklaim bahwa serangan tersebut bertujuan untuk melindungi kelompok minoritas Druze yang berada di wilayah selatan Suriah, tepatnya di kawasan Jabal Druze. Kelompok ini diketahui memiliki hubungan historis dan afiliasi dengan Israel, serta dianggap sebagai sekutu strategis di tengah dinamika internal Suriah.

Namun, Sugeng menilai alasan tersebut hanya sebagai pembungkus dari agenda yang jauh lebih strategis. Menurutnya, serangan ini mencerminkan kecenderungan Israel untuk menerapkan strategi militer terbatas guna mencapai tujuan yang lebih luas, yakni menguji kekuatan lawan dan mengamati sejauh mana respons komunitas internasional.

"Israel berdalih ingin melindungi kaum Druze yang mereka anggap tengah mengalami represi oleh pemerintah Suriah, menyusul beberapa insiden penculikan yang terjadi sebelumnya. Namun, di balik itu ada pola konsisten, yaitu Israel melakukan serangan terbatas untuk mengukur kekuatan dan respons lawan, termasuk juga respons masyarakat internasional," ujar Sugeng saat diwawancarai pada Sabtu (19/7).

Lebih lanjut, Israel kini merasa berada dalam posisi yang kuat di panggung internasional. Minimnya konsekuensi nyata atas tindakannya di wilayah Palestina dan Iran membuat Israel semakin percaya diri untuk melakukan serangan serupa di Suriah.

"Bisa dikatakan, saat ini Israel sedang berada di atas angin. Mereka melakukan genosida terhadap Palestina, menyerang Iran, dan kini Suriah tanpa ada reaksi internasional yang memberi tekanan serius. Oleh karena itu, kejadian serupa kemungkinan akan terus berulang atau bahkan semakin parah," ungkapnya.

Dari perspektif hukum internasional, serangan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara tegas melarang tindakan kekerasan lintas batas oleh satu negara terhadap negara lain tanpa alasan yang sah dan mendesak.

"Jika dilihat dari norma hukum internasional, tindakan seperti ini tentu melanggar hukum internasional. Namun, kita tahu siapa Israel dan bagaimana mereka pandai menghindar dari konsekuensi hukum internasional. Bahkan terhadap pelanggaran yang lebih besar seperti yang terjadi di Palestina, dunia tetap diam," tegas Sugeng.

Komunitas internasional juga dinilai sangat lemah dalam menanggapi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Israel. Sikap negara-negara besar yang hanya sebatas mengecam atau menyayangkan kejadian tidak cukup untuk menciptakan tekanan yang berarti.

Sugeng menilai bahwa selama struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak diubah secara fundamental, harapan terhadap aksi nyata dari PBB akan selalu terbatas. Hak veto lima anggota tetap Dewan Keamanan sering kali menjadi penghalang utama untuk penindakan tegas terhadap pelanggaran hukum internasional. Oleh karena itu, perlu ada restrukturisasi PBB.

Melihat situasi global yang terus memanas, Sugeng menekankan pentingnya peran negara-negara non-blok, seperti Indonesia, untuk tetap mengambil posisi strategis dalam mendorong perdamaian dunia. Menurutnya, kebijakan luar negeri Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif seharusnya tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga diwujudkan dalam diplomasi yang konkret dan konsisten.

"Dalam hal ini, saya melihat langkah diplomatik yang pernah ditempuh oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi patut diapresiasi dan dilanjutkan. Beliau cukup aktif dalam membawa isu pelanggaran ke lembaga-lembaga internasional, dan itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan perdamaian," tutup Sugeng. (NF)


BAGIKAN