Kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan, pepatah ini menyimpan kebijakan tentang hakikat pangan dalam peradaban manusia. Makan tidak sekadar memuaskan lapar, tidak hanya soal mengisi perut, melainkan praktik budaya dan politik yang menentukan masa depan bangsa. Makan adalah aktivitas pencernaan peradaban, bagaimana bangsa mengolah sumber daya alamnya menjadi energi bagi kemajuan generasinya.
Namun, filsafat makan telah tereduksi menjadi sekadar urusan kenyang. Kita lupa bahwa makan yang cerdas bukan privilege, melainkan hak dasar setiap warga negara. Makan cerdas berarti mengonsumsi pangan yang tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga bergizi, aman dan diproduksi dengan proses yang bermartabat. Disini tanggung jawab negara hadir, bukan hanya menjamin ketersediaan pangan, tetapi juga keamanan pangan dan akses yang berkeadilan.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi manifestasi dari tanggung jawab konstitusional. Namun ketika keracunan massal terjadi berulang kali, yang tergadai bukan hanya kesehatan anak-anak, melainkan martabat bangsa dalam memenuhi hak dasar warganya. Kita sedang tidak sekadar membicarakan menuai prestasi, tetapi yang lebih mendasar adalah bagaimana negara hadir menjamin setiap suap yang masuk ke mulut generasi penerusnya aman, bergizi dan bermartabat.
Krisis MBG dari kacamata sosiologi politik pangan adalah cermin dari kegagalan kultural dalam tata kelola pangan nasional. Saat kita menyiapkan makanan untuk 82 juta anak sekolah dengan tergesa, tanpa infrastruktur keamanan pangan yang memadai, sesungguhnya kita sedang mengatakan pada dunia, kita masih terjebak dalam paradigma yang penting kenyang, melupakan esensi bahwa makan yang cerdas adalah fondasi peradaban yang unggul.
Program Makan Bergizi Gratis yang menjadi janji kampanye pasangan Prabowo-Gibran, hadir dengan narasi mulia, mencukupi gizi anak sekolah dan meningkatkan prestasi belajar. Stella Christie, Wakil Menteri Diktisaintek pernah memberi contoh sukses program serupa di Amerika dengan nama National School Lunch Program (NSLP) untuk anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah yang terbukti berdampak signifikan terhadap hasil akademik siswa (meningkatkan kehadiran siswa dan mengurangi masalah perut akibat lapar sehingga membantu siswa fokus belajar). Di Indonesia alih-alih menelurkan prestasi, program yang dimulai Januari 2025 ini justru melahirkan tren laporan keracunan massal hampir setiap hari diberbagai daerah. Menurut data Kementerian Kesehatan hingga per 5 Oktober 2025, tercatat 11.000 kasus keracunan yang menimpa siswa penerima MBG . Ironi ini memaksa kita untuk menelisik lebih dalam mengapa program bermaksud baik justru berbalik membahayakan?
Dalam perspektif sosiologi politik pangan, program MBG bukan sekedar intervensi teknis-nutrisional, melainkan fenomena budaya politik yang kompleks. Kebijakan pangan selalu mengandung muatan relasi kuasa, nilai-nilai budaya dan praktik sosial yang terbentuk dalam ekosistem tertentu. MBG hadir sebagai political spectacle dengan anggaran fantastis Rp 171 triliun pada tahun 2025, namun gagap dalam implementasi karena mengabaikan aspek budaya keamanan pangan yang seharusnya menjadi fondasi. Budaya politik pangan Indonesia yang sering mengutamakan ketepatan waktu distribusi dibanding mutu proses terlihat dalam pola kerja Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Banyak SPPG yang harus menyiapkan ribuan porsi dalam waktu terbatas, dengan pekerja yang belum sepenuhnya memenuhi standar higiene dan belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) yang seharusnya menjadi prasyarat operasional. Fenomena ini menunjukkan kesenjangan budaya antara desain kebijakan di level makro dan praktik di level mikro.
Mengurai Akar Masalah Struktural, Anggaran dan Praktik Higiene
Program MBG diluncurkan tanpa pilot project yang memadai, sehingga semua masalah muncul ketika sudah diimplementasikan secara massal. Ekonom Core Indonesia menyoroti bahwa perencanaan program MBG berlangsung cukup cepat, padahal cakupan sasarannya sangat luas. Dalam waktu kurang dari setahun, Badan Gizi Nasional (BGN) harus mengejar capaian output yang besar tanpa infrastruktur pendukung yang matang.
Transparency International Indonesia (TII) menemukan masalah mendasar dalam proses pemilihan dan seleksi SPPG yang tidak akuntabel. Selain itu kapasitas SPPG yang ditunjuk tidak jarang dibawah standar dan yang lebih memprihatinkan, beberapa SPPG masih mengurus SLHS ditengah-tengah operasional. Potensi malaadministrasi juga diidentifikasi Ombudsman RI, mencakup penundaan verifikasi mitra, diskriminasi melalui afiliasi yayasan dengan jejaring politik, hingga penyimpangan prosedur pengadaan bahan seperti pengiriman beras medium padahal seharusnya premium.
Tahun 2025, BGN harus mengembalikan Rp70 triliun dari total anggaran Rp171 triliun karena ketidakmampuan menyerap anggaran. Ini menunjukkan ketidaksiapan implementasi di lapangan. Mekanisme awal yang bersifat reimbursement dinilai menjadi faktor penghambat karena memakan waktu lama. Meski kemudian diubah diparuh kedua tahun 2025, adaptasi terhadap sistem baru tidak mudah, terutama karena menuntut BGN menyusun perencanaan kebutuhan anggaran lebih rinci disetiap dapur .
Masalah higienitas terjadi diberbagai titik, seperti ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak memadai untuk pekerja, kebersihan peralatan makan yang tidak steril, kualitas bahan baku yang terkadang tidak sesuai pesanan bahkan kurang higienis, serta waktu produksi yang terlalu dini sehingga berisiko menyebabkan makanan basi.
Menuju Solusi Sistemik, Lebih dari Sekedar Sertifikat
Memiliki SLHS saja tidak cukup untuk membenahi tata kelola MBG. Diperlukan pengawasan seluruh proses produksi makanan hingga distribusi. Penting juga menyiapkan prosedur mitigasi kasus keracunan yang melibatkan pemerintah, sekolah, tenaga kesehatan dan masyarakat. Untuk jangka panjang, pemerintah perlu mempertimbangkan penghentian sementara MBG dan membuat payung hukum yang tegas .
Evaluasi harus melibatkan audit kualitas bahan baku dan vendor, pelatihan serta sertifikasi tenaga dapur dan penerapan standardisasi pada proses produksi dan distribusi makanan. Edukasi dan pelatihan higienitas bagi seluruh pihak yang terlibat merupakan kebutuhan mendesak, termasuk kewajiban penggunaan checklist bahan baku, pengecekan tanggal kedaluwarsa dan kontrol dalam setiap tahap rantai pasok .
Penerapan teknologi seperti alat sterilisator dapat menjadi solusi modern untuk memastikan peralatan makan, wadah penyimpanan dan perlengkapan dapur tetap higienis . Sterilisator untuk membunuh kuman, bakteri, hingga virus yang berpotensi mencemari makanan dengan lebih konsisten dibanding pencucian manual.
Alokasi anggaran MBG di 2026 perlu difokuskan pada penilaian realistis terhadap kapasitas penyerapan masing-masing program dan satuan kerja terkait. Pemerintah harus mengevaluasi efektivitas pelaksanaan program tahun ini, termasuk mengidentifikasi hambatan administratif dan teknis yang menyebabkan keterlambatan. Mekanisme pendanaan yang tidak membebani daerah juga perlu dikembangkan, Kemendagri menegaskan bahwa dukungan APBD untuk MBG disesuaikan dengan kemampuan fiskal daerah.
Program MBG memang program ambisius dan bermaksud baik. Namun menjadi contoh nyata bagaimana niat politik tidak cukup tanpa didukung implementasi yang matang. Dari perspektif sosiologi politik pangan keracunan massal yang terus terjadi bukan kegagalan individu, melainkan kegagalan sistemik yang bermula dari budaya politik pangan yang mengutamakan kecepatan dan kuantitas dibanding kualitas dan keberlanjutan. Transformasi budaya politik pangan diperlukan, dari yang sekadar memandang makanan sebagai komoditas politik menjadi bagian dari infrastruktur kesehatan bangsa. Hanya dengan perubahan paradigma ini, MBG dapat berubah dari program yang menebar keracunan menjadi investasi nyata untuk generasi Indonesia yang lebih sehat, cerdas dan berprestasi.
Mengembalikan Ruh MBG sebagai Investasi Peradaban
Bagaimana menyelamatkan cita-cita mulia MBG dari kegagalan implementasi? Jawabannya terletak pada pendekatan komprehensif yang menyinergikan solusi teknis dan substansial. Pertama, standarisasi dan sertifikasi wajib harus menjadi harga mati. Setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebelum beroperasi, dilengkapi dengan pelatihan bersertifikat bagi seluruh pekerja dapur. Kedua, teknologi monitoring real-time harus diintegrasikan dalam rantai pasok, mulai dari pemantauan suhu penyimpanan, kebersihan peralatan, hingga kecepatan distribusi. Ketiga, protokol testing mandiri disetiap unit produksi untuk mendeteksi dini kontaminasi sebelum makanan didistribusikan. Yang tak kalah penting desentralisasi pengawasan dengan melibatkan puskesmas setempat secara rutin, dibantu oleh komite pengawas yang terdiri dari perwakilan orang tua, guru dan tenaga kesehatan.
MBG harus dikembalikan pada khittahnya sebagai investasi jangka panjang bagi kualitas manusia Indonesia, bukan sekadar program pencitraan politik. Ini berarti (1) Perencanaan berbasis evidence dengan pilot project harus dilakukan sebelum diluncurkan massal. (2) Anggaran yang realistis dan tepat sasaran, tidak sekadar mengejar penyerapan anggaran tetapi memastikan kualitas output. (3) Transformasi budaya politik pangan dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, melibatkan komunitas lokal dalam perencanaan menu, pengawasan dan evaluasi. MBG harus menjadi milik masyarakat, bukan sekadar proyek pemerintah.
Solusi teknis tanpa visi substansial akan menghasilkan mesin produksi yang efisien tetapi tanpa jiwa. Visi substansial tanpa dukungan teknis hanya akan berhenti pada retorika. Keberhasilan MBG terletak pada integrasi kedua aspek tersebut. Pemerintah perlu membangun sistem terpadu yang memadukan standar teknis dengan nilai-nilai keadilan pangan yang inklusif. Dengan pendekatan ini MBG tidak hanya akan terhindar dari kasus keracunan, tetapi benar-benar menjadi instrument of change bagi terciptanya generasi Indonesia yang cerdas, sehat dan berdaya saing. Mari kita wujudkan bahwa makan bukan sekadar kenyang, tetapi proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Puji Qomariyah, M.Si
Dosen Sosiologi (mengampu matakuliah Budaya Politik Pangan) dan Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pendidikan SPS-IP UNY