 
				Fenomena sound horeg sebagai media hiburan dengan kekhasan penggunaan suara yang menggelegar dan sensasi yang luar biasa tengah menjadi sorotan publik. Isu tersebut semakin mencuat dan memicu pro dan kontra di masyarakat setelah terbitnya fatwa MUI Jawa Timur yang tegas mengharamkan festival sound horeg pada Selasa (15/7/2025). Menyikapi hal tersebut, dosen Program Magister Hukum UMY sekaligus pakar hukum Islam, Prof. Muchammad Ichsan, Lc., MA., Ph.D., menegaskan bahwa fenomena ini memiliki dampak buruk (mudharat) yang dilarang dalam syariat Islam, terutama jika sudah melampaui batas dan mengganggu masyarakat.
Ichsan menjelaskan bahwa Islam, sebagai agama yang komprehensif dan universal, tidak melarang hiburan selama tidak mengandung mudharat dan kesyirikan. “Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk masalah hiburan. Jadi, kalau ingin berhibur, ya silakan saja, hanya saja ada batasan-batasan yang diberikan oleh Islam untuk kita,” ujarnya.
Fokus pada sound horeg, Ichsan menekankan bahwa segala alat, termasuk sound system, dinilai dari tujuan pemakaian dan kemanfaatannya. Menurutnya, penggunaan sound system dengan kapasitas besar untuk kebutuhan yang jelas, seperti untuk shalat Idul Fitri di area terbuka atau takbiran, sangat dianjurkan karena bermanfaat. Begitu pula untuk acara pesta pernikahan, yang bertujuan agar suasana lebih hidup dan meriah.
Namun, persoalan sound horeg muncul ketika penggunaan sound system ini melampaui batas kewajaran dan sudah jelas merugikan orang lain. Ichsan memperingatkan bahwa suara sound horeg yang sangat keras dan dibawa ke mana-mana terbukti mengganggu orang di sekitar, meskipun sebagian orang merasakannya sebagai kesenangan.
“Kalau sudah sampai mengganggu, bahkan membuat kaca-kaca pecah, itu kan sudah melampaui. Dan kalau sudah melampaui batas, itu artinya sudah dilarang dalam Islam,” tegasnya.
Dalam kasus sound horeg ini, Ichsan mengutip banyak dalil dari Al-Qur’an dan Hadis yang melarang umat Islam untuk menyakiti, mengganggu, atau menzalimi orang lain.
Baginya, sudah cukup jelas melalui berbagai dalil tersebut bahwa perbuatan yang dapat mengganggu tetangga, teman, saudara, atau masyarakat dengan berbagai cara, termasuk suara bising, adalah perbuatan yang dilarang. Sebagai penutup landasan dalil larangannya, Ichsan mengutip kaidah fikih, “Segala sesuatu yang mengganggu, membuat ketidaknyamanan, dan seterusnya, itu harus dihilangkan.”
Dalam kasus sound horeg sendiri, Ichsan juga tidak mengecualikan perkara lain yang dapat mengganggu orang lain. Seperti halnya jika memutar audio di rumah sendiri, jika suaranya sampai keluar rumah dan mengganggu, atau jika memelihara ayam namun menimbulkan bau kotoran yang mengganggu tetangga, maka yang demikian tidak dibenarkan.
“Intinya, kalau ada segala sesuatu yang dilarang oleh syariat, itu pasti ada dampak buruk atau mudharat yang ditimbulkan darinya,” jelasnya, sambil mengambil contoh langsung seperti memekakkan telinga akibat paparan terus-menerus, yang merupakan contoh nyata dari mudharat ini.
Kembali pada Prinsip Mutawasitoh
Mengkaitkannya kembali dengan nilai agama Islam, Ichsan menjelaskan bahwa Islam mengajarkan prinsip “mutawasitoh” (pertengahan), tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih, termasuk dalam perkara penggunaan sound system. Ichsan menekankan pentingnya peran ulama untuk mengingatkan masyarakat, serta peran pemerintah dalam membuat regulasi untuk menertibkan penggunaan sound horeg.
“Penggunaan sound system itu memang perlu diatur, tak terkecuali yang di masjid sendiri,” saran Ichsan, yang mengacu pada contoh penggunaan pengeras suara luar untuk salawatan sebelum azan, yang menurutnya tidak perlu. Ichsan berharap pemerintah bisa membuat aturan berdasarkan waktu dan tempatnya.
Melihat fenomena sound horeg, juga tidak lepas dari unsur bisnis yang menjadi komoditas mereka. Ichsan kembali menegaskan bahwa perkara tersebut kembali pada tujuannya. Jika penggunaannya mengganggu masyarakat, maka sudah menjadi konsekuensinya jika bisnis sound system akan mati.
“Pada asalnya itu boleh menggunakan, tapi sewajarnya saja. Kalau sudah sampai keterlaluan, membahayakan diri sendiri dan juga mengganggu orang lain, bahkan sampai ada yang membuat kaca pecah, maka mereka harus bertanggung jawab mengganti,” tutupnya. (Jeed)