Dosen Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si., menegaskan adanya hubungan positif antara pertumbuhan produksi pengetahuan dengan eksistensi suatu bangsa, seperti yang kini ditunjukkan oleh Palestina. Namun, di sisi lain, ia juga menyoroti meningkatnya distorsi terhadap Islam yang dipicu oleh dominasi riset dari negara-negara tertentu, khususnya Amerika Serikat. Pernyataan tersebut disampaikan Surwandono pada Jumat (17/10) di Ruang Dosen Prodi HI UMY, saat membahas kabar menggembirakan terkait perjuangan bangsa Palestina.
“Kita tidak bisa pungkiri, ada kabar gembira luar biasa bagi seluruh kaum muslimin terkait perjuangan bangsa Palestina,” ujarnya. Menurutnya, meskipun sebagian umat Islam sempat merasa pesimis terhadap masa depan Palestina, situasi saat ini menunjukkan arah yang berbeda.
“Sekarang Israel sudah berada dalam konteks menjelang game over. Ironisnya, tagar #GameOverIsrael justru lebih ramai bergema di Eropa ketimbang di Indonesia,” ungkapnya.
Surwandono mengungkapkan salah satu faktor penting di balik meningkatnya dukungan global terhadap Palestina, yaitu kemajuan signifikan dalam produksi pengetahuan yang dilakukan oleh bangsa Palestina sendiri. “Lebih dari 76 persen negara di dunia, atau sekitar 147 dari 193 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kini telah mengakui Palestina,” jelasnya.
Ia menuturkan hasil survei sederhana yang dilakukan melalui Scopus Library, yang menunjukkan perubahan signifikan dalam lanskap riset global. “Jika setahun lalu artikel tentang Palestina paling banyak ditulis oleh ilmuwan Amerika Serikat, kini publikasi ilmiah bertema Palestina yang terindeks Scopus justru didominasi oleh penulis berkebangsaan Palestina,” paparnya.
Menurutnya, data tersebut menunjukkan bahwa ketika suatu bangsa mampu memproduksi pengetahuan tentang dirinya sendiri, maka hal itu akan berbanding lurus dengan eksistensi dan pengakuan global yang diperolehnya. “Ketika kita memproduksi pengetahuan tentang diri kita, itu akan berkorelasi positif terhadap eksistensi kita. Bangsa Palestina telah membuktikannya,” tegas Surwandono.
Distorsi Islam dan Dominasi Riset Amerika Serikat
Namun, di balik capaian tersebut, Surwandono juga menyoroti fenomena yang ia sebut sebagai “berita tidak baik” bagi umat Islam. Ia mengajak masyarakat untuk menelusuri bagaimana Islam direpresentasikan dalam dunia akademik internasional.
“Coba ketik kata kunci Islam di laman Scopus, dan kita akan menemukan bahwa fenomenanya tidak banyak berubah,” ujarnya. Menurut hasil penelusurannya, dari sekitar 12.000 artikel yang memuat kata kunci Islam, lebih dari 48 persen di antaranya diproduksi oleh peneliti asal Amerika Serikat.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa Amerika Serikat, terutama pada era Donald Trump, cenderung mengembangkan tradisi pengetahuan yang mengafirmasi Islam sebagai ancaman,” jelasnya.
Kondisi ini, lanjut Surwandono, diperparah oleh disorientasi yang dialami oleh sebagian umat Islam sendiri, terutama di negara-negara Muslim yang masih pasif dalam memproduksi pengetahuan dan membangun narasi positif tentang Islam. (FU)