Gelombang demonstrasi di DPR dalam beberapa hari terakhir kembali diwarnai dengan penyemprotan gas air mata. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan, terutama dari sisi kesehatan masyarakat. Gas air mata yang biasa digunakan aparat untuk membubarkan massa bukan hanya menimbulkan ketidaknyamanan sementara, tetapi juga berpotensi memicu gangguan kesehatan serius apabila seseorang terpapar berulang kali atau memiliki kondisi medis tertentu.
Dr. dr. Ardi Pramono, Sp. An., M.Kes., Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif RS PKU Gamping sekaligus dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menjelaskan bahwa gas air mata sejatinya merupakan senyawa kimia yang bekerja dengan cara mengiritasi selaput mukosa tubuh manusia.
“Gas air mata itu pada dasarnya mengandung zat iritan, yang paling umum digunakan adalah senyawa chlorobenzylidene malononitrile (CS). Zat ini bekerja dengan mengiritasi membran mukosa seperti selaput mata, hidung, dan mulut. Itu sebabnya, ketika terpapar, mata terasa sangat perih, merah, berair, dan sulit dibuka. Pada saat yang sama, mukosa di hidung maupun tenggorokan juga merasakan sensasi panas dan pedih yang memicu batuk hingga sesak napas,” terang dr. Ardi saat diwawancarai secara eksklusif melalui WhatsApp pada Minggu malam (31/8).
Menurutnya, kerusakan paling dominan akibat paparan gas air mata terjadi pada lapisan luar selaput mukosa. Mukosa sendiri merupakan lapisan tipis yang melindungi bagian dalam organ tubuh. Jika mengalami iritasi berulang, lapisan ini berpotensi mengalami peradangan.
Efek gas air mata umumnya bersifat cepat dan intens, namun biasanya hanya berlangsung singkat. Dalam kondisi normal, iritasi bisa mereda dalam 15 hingga 30 menit, terutama jika konsentrasi gas di udara menurun karena angin. Namun, risiko lebih serius dapat terjadi pada individu dengan penyakit pernapasan kronis.
“Jika seseorang memiliki riwayat asma atau bronkitis, paparan gas air mata bisa memicu kekambuhan dan memperburuk kondisi paru-parunya. Begitu juga penderita penyakit mata kronis, gas air mata akan memperparah iritasi yang sudah ada. Jadi meskipun dampaknya sementara, efeknya bisa lebih berat pada kelompok rentan. Gangguan pernapasan juga bisa bertahan lebih lama, terutama jika gas dihirup dalam konsentrasi tinggi dan dalam waktu lama,” tambahnya.
Dalam kondisi darurat, langkah pertolongan pertama menjadi sangat penting. Dr. Ardi menegaskan, penanganan sederhana dapat membantu mencegah iritasi semakin parah.
“Pertolongan pertama yang paling efektif adalah menjauh dari lokasi paparan dan mencuci bagian tubuh yang terkena dengan air bersih mengalir sebanyak-banyaknya. Tidak ada obat penawar khusus untuk gas air mata. Jadi, cara terbaik adalah membersihkan dengan air. Kalau masih terasa sesak, asma kambuh, atau mata tetap perih parah, maka harus segera ke unit gawat darurat. Apalagi ketika ada iritasi kulit berupa kemerahan atau rasa panas, itu juga perlu penanganan medis,” jelasnya.
Lebih lanjut, dr. Ardi mengimbau masyarakat agar tidak berlama-lama berada di area yang penuh gas air mata. Segera menjauh, hindari mengucek mata, lalu cuci dengan air bersih sebanyak mungkin. Ia menekankan, meski paparan singkat umumnya tidak menimbulkan dampak jangka panjang, paparan berulang atau berkepanjangan dapat memperparah kondisi kesehatan, terutama pada kelompok rentan. (NF)