 
				Pemerintah berencana menerapkan kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (Zero ODOL) atau penghapusan total praktik kendaraan angkutan barang yang kelebihan dimensi dan muatan mulai tahun 2027. Kebijakan ini ditujukan untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas, mengurangi kerusakan infrastruktur jalan, serta menciptakan sistem transportasi nasional yang lebih tertib, efisien, dan berkelanjutan.
Pakar Kebijakan Tata Kelola Perkotaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Muhammad Eko Atmojo, S.IP., M.IP., menilai kebijakan Zero ODOL merupakan langkah positif pemerintah dalam memperbaiki tata kelola transportasi sekaligus menegakkan prinsip keselamatan dan efisiensi logistik. Menurutnya, kebijakan ini memiliki dampak multiplikatif di berbagai sektor, mulai dari peningkatan keselamatan jalan hingga keberlanjutan infrastruktur nasional.
“Kebijakan ini sangat bagus jika diterapkan secara konsisten karena akan memberikan multiplier effect seperti menurunkan angka kecelakaan, mengantisipasi kerusakan jalan akibat kelebihan beban kendaraan, dan memastikan kendaraan beroperasi sesuai standar,” ujarnya, Kamis (16/10) secara daring.
Eko menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan Zero ODOL sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam implementasi dan pengawasan di lapangan. Ia menyoroti pentingnya pelaksanaan razia rutin, reaktivasi jembatan timbang, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang berintegritas agar tidak mudah disuap. Di sisi lain, sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat dan pelaku usaha juga menjadi kunci agar kebijakan ini tidak dianggap tiba-tiba atau merugikan.
Dari perspektif tata kelola publik, kebijakan Zero ODOL dinilai sebagai upaya penerapan prinsip good governance di sektor transportasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah memperkuat aspek transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi lintas lembaga dalam pengawasan angkutan barang.
“Zero ODOL tidak akan berjalan mulus tanpa koordinasi antar sektor dan kesiapan infrastruktur pendukung. Tantangan terbesar justru ada pada ketergantungan pelaku usaha terhadap kendaraan ODOL yang selama ini dianggap lebih efisien menekan biaya logistik,” terang Eko.
Ia mengakui bahwa kebijakan Zero ODOL berpotensi menimbulkan kenaikan biaya logistik dalam jangka pendek, namun optimistis bahwa dampak jangka panjangnya akan memberikan efisiensi yang lebih besar bagi industri transportasi dan manufaktur.
“Perlu sinergi antar lembaga dalam pemanfaatan data pemilik usaha, sosialisasi dengan pendekatan persuasif, serta pemberian subsidi konversi kendaraan non-ODOL bagi pelaku usaha kecil. Teknologi juga harus dimanfaatkan untuk mendukung pengawasan, misalnya dengan sensor berat kendaraan atau sistem digital di jembatan timbang,” sarannya.
Selain itu, Eko mendorong pemerintah untuk membangun terminal khusus barang yang berfungsi sebagai simpul pertemuan antar moda transportasi, sekaligus memperluas alternatif angkutan logistik seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat kargo.
Dengan dukungan kebijakan yang matang, pengawasan berbasis teknologi, dan koordinasi lintas sektor yang kuat, kebijakan Zero ODOL diharapkan tidak hanya menjadi regulasi simbolik, tetapi juga menjadi tonggak perubahan nyata dalam tata kelola transportasi dan logistik nasional. (NF)