Pemerintah Indonesia mengambil langkah signifikan menjelang Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia. Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada 1.116 narapidana, termasuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Hasto Kristiyanto, serta memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia 2015-2016, Tom Lembong.
Keputusan ini menuai beragam respons. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D., menduga adanya lobi politik yang mendahului keputusan ini. Ia meyakini, meskipun secara prosedural pemberian abolisi ini sah karena disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada proses non-formal yang mendahuluinya untuk memastikan dukungan dari seluruh fraksi di dalamnya.
Walau begitu, Iwan menilai bahwa keputusan abolisi untuk Tom Lembong ini merupakan langkah rekonsiliasi politik yang sebelumnya sempat terpecah pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ia juga berdalih bahwa langkah ini diambil dengan tujuan memperkuat sekaligus memperluas basis dukungan politik Presiden Prabowo.
“Putusan abolisi ini adalah langkah Presiden untuk melakukan rekonsiliasi politik pasca-pemilu, untuk persatuan bangsa,” kata Iwan dalam wawancara eksklusif pada Jumat siang (1/8) di Dekanat Fakultas Hukum UMY.
Menurutnya, keputusan seperti ini harus sesuai dengan kebutuhan dan tindakan yang proporsional. Melalui kasus ini, Iwan menilai Presiden Prabowo sebagai negarawan yang mengimplementasikan prinsip adagium hukum, “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” demi mewujudkan rekonsiliasi yang dicita-citakan.
“Seorang presiden itu harus menjadi seorang negarawan yang tidak sekadar memikirkan kepentingan sekelompok orang, tetapi berpikir untuk kepentingan bangsa jangka panjang,” jelas Iwan secara retoris.
Di tempat yang berbeda, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum., juga menduga kuat adanya nuansa politik di balik keputusan ini. Ia melihat adanya pertukaran antara persoalan hukum dan politik dengan dalih rekonsiliasi.
“Kita ingin menyambut 17 Agustus. Rekonsiliasi secara politik dilakukan oleh Presiden dengan harapan mendapatkan dukungan politik yang lebih luas. Artinya, persoalan hukum dibarter dengan persoalan politik,” ujar Trisno saat ditemui di Ruang Pusat Kajian Pidana Gedung Ki Bagus Hadikusumo E5 UMY.
Trisno menceritakan kekhawatirannya terkait keputusan ini yang ia anggap akan mengganggu pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia pun menambahkan, jika hal tersebut terus terjadi, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan menurun. Korupsi pun akan dianggap sebagai sesuatu yang dapat diselesaikan dengan lobi-lobi politik.
“Pada akhirnya orang akan menganggap korupsi enak ‘kalau nanti kita bisa menyampaikan pandangan kita kepada Presiden, Presiden mau, dia beri amnesti. Selamatlah kita, para koruptor,'” pungkas Trisno.
Meskipun demikian, ia berharap bahwa setiap kalkulasi politik yang dilakukan oleh pengambil keputusan telah memperhitungkan dampaknya agar tidak memberikan dampak buruk bagi penegakan hukum yang sungguh-sungguh.
Pemberian amnesti dan abolisi di momen kemerdekaan Indonesia memang dapat menjadi simbol rekonsiliasi, namun suara dari kalangan akademisi ini menunjukkan bahwa tujuan mulia tersebut harus sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum demi terciptanya tatanan masyarakat yang bersih dan berintegritas. (FU)