Bayu Permadi: Membawa Batik Lebih Ekspresif untuk Generasi Muda

Di hadapan peserta Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2025 yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (18/9), Bayu Permadi tampil penuh semangat. Pemilik “Sembung Batik” itu bukan sekadar pengrajin, melainkan representasi anak muda yang berusaha menjembatani batik dengan generasinya sendiri. Ia ingin menunjukkan bahwa batik bukan hanya kain, tetapi warisan budaya yang bisa dinikmati secara lebih bebas dan ekspresif.

“Batik itu hak kita, bukan kewajiban. Kalau orang tua punya warisan, otomatis kita berhak memilikinya. Begitu pula batik, ini hak kita untuk melestarikan,” ujar Bayu.

Pernyataan tersebut lahir dari perjalanan pribadi Bayu. Terlahir dari keluarga pembatik, ia sejak kecil akrab dengan motif klasik. Namun saat remaja, ia sempat merasa bosan. Proses membatik yang rumit dan hasil yang cenderung seragam membuatnya gelisah. Pada 2013, ketika istilah “galau” populer di kalangan anak muda, ia menciptakan karya berbeda: Perpaduan motif tradisional dengan warna-warna kontemporer yang ia sebut “batik galau.”

Tak disangka, karya yang lahir dari kegelisahan itu justru mengantarkannya meraih juara dua Pemuda Pelopor tingkat provinsi. Sejak saat itu, Bayu semakin percaya diri mengembangkan batik dengan pendekatan baru.

“Saya menyebutnya batik ekspresif. Anak muda bisa bebas menuangkan perasaan mereka, tidak harus kaku mengikuti pakem,” katanya.

Menurut Bayu, kesan rumit dan melelahkan sering membuat generasi muda enggan belajar batik. Pegangan canting yang panas, proses pewarnaan berulang, hingga detail motif yang rumit kerap membuat frustrasi. Ia memahami tantangan itu, namun justru mencari cara agar batik bisa menjadi pengalaman menyenangkan.

“Batik tidak harus rapi. Justru dari ketidaksempurnaan muncul keindahan baru. Anak muda bisa mulai dengan coretan sederhana menggunakan lilin panas, lalu memberi warna. Dari situ lahir rasa penasaran, tumbuh rasa ingin kenal, rasa suka, hingga akhirnya jatuh cinta,” jelasnya.

Bayu bahkan menganalogikan mencintai batik seperti menjalin hubungan. “Awalnya malu-malu, lalu akrab, kemudian jatuh cinta. Kalau sudah cinta, mau tidak mau kita akan merawatnya,” pungkasnya. (Mut)


BAGIKAN