Penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel ‘Noel’ Ebenezer, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (20/8) lalu, menuai perhatian luas. Peristiwa ini juga menjadi sorotan tajam dari pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum.
Ditemui pada Senin (25/8) di Ruang Pusat Kajian Pidana, Gedung Ki Bagus Hadikusumo UMY, Trisno menilai OTT terhadap seorang wakil menteri di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto merupakan tamparan keras bagi pemerintahan.
“Ini menyedihkan. Orang yang ditunjuk Presiden seharusnya memiliki integritas,” ujarnya.
Menurut Trisno, kasus ini mencoreng prinsip pemberantasan korupsi yang digaungkan Presiden Prabowo, apalagi tersangka berasal dari partai yang sama. “Ini menambah daftar koruptor dari partainya sendiri. Sangat menyedihkan, karena ini orang yang ditunjuk Presiden,” tambahnya.
Padahal, dua hari sebelum HUT Kemerdekaan RI, Presiden Prabowo sempat berpidato di Sidang Tahunan MPR dengan menekankan pentingnya pemberantasan korupsi secara masif. Namun kenyataan pahit justru muncul dari kabinetnya sendiri.
Trisno menilai kejadian ini memiliki dua sisi. “Berhasil, karena pelaku bisa ditangkap. Gagal, karena Presiden tidak mampu menempatkan orang yang patuh pada perintahnya,” jelasnya.
Ia menegaskan, jika Presiden serius, harus ada sikap tegas dengan mengultimatum seluruh jajaran menteri dan wakil menteri untuk menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Jika terbukti gagal, Trisno menyarankan pejabat tersebut dicopot, bahkan kementeriannya bisa dibekukan bila dinilai sarat masalah.
“Harus tegas, bukan sekadar memberhentikan. Itu hal biasa. Prinsipnya, harus ada langkah nyata agar praktik korupsi berhenti,” tegasnya.
Ancaman Amnesti dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi
Terkait isu kemungkinan pemberian amnesti, sebagaimana wacana yang sempat muncul untuk beberapa tokoh politik, Trisno menolak keras opsi tersebut. Menurutnya, jika Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada Noel, maka posisinya akan semakin runyam.
“Justru ini momen untuk menegaskan bahwa Presiden tidak akan memberi pengampunan, apalagi kepada orang partainya sendiri,” katanya.
Ia menambahkan, dari perspektif hukum dan politik, amnesti bagi orang dekat akan merusak reputasi Presiden. “Prabowo jangan cawe-cawe. Biarkan proses hukum berjalan tanpa intervensi. Setelah ada putusan, jangan diberi grasi selama masa kepemimpinannya,” lanjutnya.
Meski demikian, Trisno optimistis pemberantasan korupsi masih bisa berjalan baik asalkan Presiden benar-benar serius. “Saya optimis kalau Presiden sungguh-sungguh. Setelah ini, pejabat akan pikir-pikir lagi untuk melakukan korupsi,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan komitmen itu harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bukan hanya retorika. Presiden perlu memberi ruang penuh bagi KPK, kejaksaan, dan kepolisian untuk bekerja tanpa intervensi.
Trisno juga menyarankan perombakan kabinet dengan memangkas jumlah kementerian dan wakil menteri guna menekan peluang praktik korupsi. “Jumlah menteri tidak perlu banyak. Wakil menteri pun maksimal satu tiap kementerian,” pungkasnya. (FU)