Memberdayakan Mahasiswa Menjadi Social Entrepreneur Di Tengah Pandemi Covid-19

Adanya pandemi Covid-19 memaksa pemerintah membuat kebijakan physical distancing yaitu penerapan jarak yang aman dengan individu lain. Akibat kebijakan ini, konsep ruang dan gerak menjadi terbatas sehingga  banyak pihak terdampak mulai dari skala rumah tangga hingga nasional. 

Aknolt (2020), menyebutkan ada tiga implikasi bagi Indonesia terkait pandemi Covid-19 ini yakni sektor pariwisata, perdagangan dan investasi. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai tulang punggung perekonomian nasional juga terdampak serius. Tidak hanya pada aspek produksi dan nilai perdagangan, tetapi juga pada jumlah tenaga kerja ikut terimbas. Data dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018, terdapat 64.194.057 UMKM atau sekitar 99 persen dari total unit usaha yang mempekerjakan 116.978.631 tenaga kerja atau sekitar 97 persen dari total tenaga kerja di sektor ekonomi.

Adanya penerapan Work From Home (WFH) pada karyawan baik swasta maupun pemerintah berpengaruh pada kinerja UMKM (Hadi dan Supardi, 2020). Masalah besar yang timbul dalam UMKM pada penerapan WFH adalah menurunnya penjualan, berkurangnya bahan baku sehingga produksi dan distribusi terhambat, modal yang terbatas serta minimnya pengetahuan teknologi informasi. Kemampuan UMKM dalam menghadapi perubahan khususnya dalam bertransaksi menjadi terhambat karena pelaksana UMKM dituntut serba digital (Amalia, 2020). Hal ini membuat kehidupan masyarakat menjadi semakin tidak  baik karena sebagian besar pelaku usaha UMKM adalah masyarakat.

Covid-19 tidak hanya menghantam kesehatan manusia, tetapi juga mengganggu kesehatan ekonomi di seluruh dunia. Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), berdasarkan assessment  Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah menurun sebanyak 2,3 persen, bahkan dalam skenario terburuk bisa mencapai minus 0,4 persen (Asmini et al., 2020).

Jumlah pengangguran dalam pandemi Covid-19 akan meningkat menambah tingkat masalah yang sudah ada sebelum pandemi berlangsung. Hal ini menjadi tantangan bagi perguruan tinggi dimana fungsinya tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu sebagai pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat. Makna pengabdian masyarakat itu luas termasuk mengurai masalah tingginya pengangguran di Indonesia.

Perguruan tinggi tidak hanya mencetak lulusan handal yang ditujukan untuk mensuplai tenaga kerja pada pemerintah dan dunia industri saja, tapi butuh pergeseran paradigma dimana perguruan tinggi dapat membentuk mahasiswa menjadi entrepreneur handal yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lainnya.

Rendahnya jumlah entrepreneur di Indonesia dikarenakan perilaku tidak berani ambil resiko dan pada umumnya masyarakat lebih memilih jalur aman, yaitu menjadi pegawai negeri (Dwi Larso, IICIES, 2010). Hal ini bertentangan dengan salah satu karakter seorang entrepreneur, yaitu risk taker. Tantangan dari perguruan tinggi adalah merubah mindset “play safe” menjadi “risk taker”  itu tidak mudah. Dibutuhkan komitmen yang tinggi dan konsisten dari beberapa unsur, yaitu akademika, bisnis dan pemerintah. (Bambang Pratama, 2010)

Salah satu macam entrepreneurship adalah social entrepreneurship yaitu suatu bentuk usaha yang bertujuan untuk melakukan perubahan sosial dengan menyelesaikan permasalahan sosial dengan menggunakan prinsip-prinsip kewirausahaan. Sedangkan social entrepreneur  adalah individu atau kelompok yang memberikan perubahan pada masyarakat dengan memanfaatkan peluang dan memperbaiki sistem dengan inovasi dan menciptakan solusi untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik. (Dhewanto et al., 2013).

Social entrepreneur berbeda dengan entrepreneur yang bertujuan membuat diri sendiri bertambah kaya dan sejahtera. Namun lebih dari itu, tujuan social entrepreneur  untuk membuat suatu perusahaan bukan hanya untuk memperkaya pribadi saja tapi lebih pada memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Dalam prakteknya, diperlukan berbagai dimensi ilmu pengetahuan untuk mengembangkan usaha dan memantau prakteknya di lapangan yaitu: dimensi sosial yang tertuang dalam misi yang tidak hanya berpikir tentang profit yang didapatkan tetapi juga benefit untuk manfaat sekitar, dimensi inovasi dimana social entrepreneur mendapatkan ide dari situasi masalah yang terlihat berlarut dan tidak mudah untuk dipecahkan (Praszkier dan Nowak, 2012). Dimensi lainnya adalah orientasi pasar yaitu dengan mengendalikan biaya dan mencapai efisiensi operasional dengan berfokus pada orientasi pasar tertentu (London dan Morfopoulos, 2010).

Social entrepreneurship  hadir untuk menutup celah yang bisa jadi belum terjangkau oleh pemerintah maupun pihak swasta. Social entrepreneur bisa jadi merupakan modal sosial yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Perguruan tinggi bisa memberikan model pembelajarana yang efektif dengan mendorong mahasiswa memiliki pengalaman atas sebuah proyek atau bisnis dalam social entrepreneurship. Untuk peningkatan pengajaran entrepreneurship, nilai-nilai entrepreneurship sudah dapat diintegrasikan dalam kurikulum sehingga mahasiswa selama masa studinya telah hidup di lingkungan entrepreneurship. (nurdiah/misterajie)


BAGIKAN