Pakar UMY: Diplomasi Digital Perlu Ekosistem Kolaboratif antara Negara dan Publik

Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ratih Herningtyas, M.A., menegaskan bahwa diplomasi digital tidak dapat hanya dijalankan sebagai strategi komunikasi pemerintah, melainkan harus berkembang menjadi ekosistem kolaboratif yang melibatkan negara, masyarakat, dan komunitas digital. Pandangan tersebut ia sampaikan dalam Seminar “Peran Engagement Publik dalam Diplomasi Digital Indonesia” yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Selasa (28/10).

Menurut Ratih, diplomasi digital berperan penting dalam membangun bridging space antara negara dan masyarakat. Melalui ruang digital, publik tidak hanya menjadi penonton isu internasional, tetapi juga kontributor aktif dalam membentuk citra positif bangsa melalui partisipasi digital yang kreatif dan terarah.

“Diplomasi digital harus menjadi ruang kolaborasi antara negara dan masyarakat. Publik memiliki kesempatan untuk ikut membentuk narasi yang mewakili kepentingan Indonesia,” ujarnya.

Ratih menyoroti fenomena hashtag activism sebagai bukti nyata kekuatan publik dalam menggerakkan solidaritas dan opini global. Dalam berbagai kasus, gerakan berbasis tagar bahkan mampu melampaui pengaruh komunikasi resmi pemerintah.

Ia menilai, keberhasilan diplomasi digital bergantung pada kemampuan negara dalam menyeimbangkan antara pendekatan politik luar negeri yang bersifat institusional dan keterlibatan masyarakat yang bersifat organik. Negara, kata Ratih, perlu beradaptasi dengan pola komunikasi publik yang terbuka, interaktif, dan kolaboratif.

Dalam pandangannya, Ratih mengusulkan agar pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas digital bekerja bersama membangun ekosistem diplomasi berbasis partisipasi. Salah satu gagasan yang ia tawarkan adalah pembentukan “Indonesia Digital Diplomacy Hub”, sebuah wadah kolaboratif yang mempertemukan pemerintah, akademisi, komunitas digital, dan diaspora Indonesia di luar negeri.

“Melalui platform ini, berbagai ide, isu, dan kampanye digital dapat diintegrasikan agar selaras dengan kepentingan diplomasi nasional,” jelasnya.

Ratih juga menekankan pentingnya peran dunia akademik dalam memperkuat kapasitas diplomasi publik melalui riset, edukasi, dan literasi digital. Menurutnya, kampus harus berfungsi tidak hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai inkubator gagasan dan pelatihan digital untuk mencetak generasi digital influencers yang berkarakter kebangsaan.

“Mahasiswa perlu disiapkan bukan hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai produsen narasi yang memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional,” tegasnya.

Ratih menilai bahwa sinergi antara negara dan publik di ruang digital memiliki nilai strategis dalam memperkuat legitimasi kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan mengedepankan transparansi, kreativitas, dan partisipasi publik, diplomasi Indonesia dapat tampil lebih adaptif terhadap perubahan zaman.

“Kolaborasi digital bukan hanya memperluas jangkauan komunikasi, tetapi juga memperkuat legitimasi moral negara di mata dunia. Karena pada akhirnya, kepercayaan global lahir dari partisipasi publik yang nyata,” pungkasnya. (ID)


BAGIKAN