Serangan Israel terhadap Qatar dipandang sebagai pelanggaran serius terhadap kedaulatan negara, namun bukan inti persoalan konflik di Timur Tengah. Eskalasi yang paling berbahaya justru terjadi di Gaza, di mana Israel dituding melakukan genosida terhadap warga Palestina.
Hal itu ditegaskan oleh Guru Besar Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Ali Muhammad, M.A. Menurutnya, perhatian dunia internasional seharusnya tidak teralihkan dari tragedi kemanusiaan yang tengah berlangsung di Gaza.
“Serangan ke Qatar memang pelanggaran kedaulatan negara, tapi saya melihatnya sebagai buntut dari konflik yang lebih besar, yakni konflik Arab–Israel. Permasalahan utamanya terletak pada penjajahan dan genosida yang kini terjadi di Gaza,” ujar Ali saat ditemui, Senin (15/9).
Meski mengakui keseriusan insiden Israel–Qatar, Prof. Ali menilai kecil kemungkinan konflik tersebut meluas menjadi perang regional besar. Menurutnya, insiden di Doha hanyalah bagian dari ketegangan yang lebih luas di Timur Tengah, termasuk rivalitas Israel dengan Iran, konflik internal di Suriah, dan ketegangan di Yaman. Faktor-faktor itu jauh lebih menentukan arah geopolitik kawasan dibandingkan serangan tunggal terhadap Qatar.
“Saya kira tidak akan ada eskalasi besar. Justru yang lebih mengkhawatirkan adalah kondisi Gaza dan potensi konflik dengan Iran, terutama terkait instalasi nuklir. Itu jauh lebih berbahaya bagi stabilitas kawasan,” jelasnya.
Namun demikian, Dosen Hubungan Internasional UMY ini juga mengingatkan bahwa konflik Israel–Qatar tetap berpotensi menimbulkan dampak global, khususnya di sektor energi. Qatar merupakan salah satu eksportir gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) terbesar dunia yang memasok banyak negara di Asia dan Eropa.
Ali menilai, jika serangan terhadap Qatar berlanjut, dampaknya bisa memicu lonjakan harga energi global, termasuk di Indonesia. Krisis energi ini berpotensi menekan perekonomian negara-negara berkembang.
Standar Ganda Negara Besar
Dalam analisisnya, Ali menyoroti sikap negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat, yang dinilai pasif terhadap agresi Israel. Menurutnya, AS merupakan sekutu Israel sekaligus sekutu Qatar. Namun ketika Qatar diserang, AS justru memilih diam. Hal ini, katanya, menunjukkan adanya standar ganda yang memberi impunitas kepada Israel.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa hukum internasional kerap tidak berlaku konsisten, terutama jika pelaku agresi adalah negara yang dilindungi kekuatan besar.
“Impunitas Israel inilah yang membuat siklus kekerasan tidak pernah berhenti,” tambahnya.
Di tengah kompleksitas itu, Ali menekankan pentingnya konsistensi politik luar negeri Indonesia. Ia menilai, suara Indonesia tetap relevan meski bukan kekuatan besar dunia. Indonesia perlu terus aktif di forum internasional seperti PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sekaligus memperkuat seruan solusi dua negara atau two-state solution yang kini kembali menjadi agenda global.
“Sikap moral Indonesia di tengah kebisuan dunia harus tetap dijaga. Kita mungkin hanya middle power, tetapi suara Indonesia sangat penting bagi legitimasi perjuangan kemanusiaan,” pungkasnya. (ID)