Tanpa Literasi Keuangan, Masyarakat Rentan Terjebak Judi Online

Maraknya praktik judi online di Indonesia kini tidak hanya dipandang sebagai masalah hukum, tetapi juga terkait rendahnya literasi keuangan masyarakat. Akses mudah melalui smartphone membuat permainan haram ini kian sulit dibendung, terutama di kalangan anak muda dan kelompok rentan secara finansial.

Menurut Satria Utama, S.E.I., M.E.I, Pakar Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), literasi keuangan merupakan benteng pertama dalam menghadapi godaan judi online. Banyak masyarakat mampu menggunakan layanan keuangan digital, tetapi tidak memahami risiko dan cara mengelolanya dengan bijak.

“Kalau kita lihat data OJK tahun 2025, indeks inklusi keuangan Indonesia mencapai 80,51 persen, tapi literasi keuangannya hanya 66,46 persen. Artinya, orang bisa mengakses produk keuangan, menggunakan dompet digital, transfer uang, bahkan pinjam online. Namun ketika bicara soal bagaimana mengelola uang, memahami risiko, atau mengatur prioritas kebutuhan, pemahamannya masih sangat rendah,” ungkap Satria kepada Humas UMY, Kamis (18/9).

Celah inilah yang dimanfaatkan pelaku judi online dengan promosi agresif dan iming-iming hadiah besar. Banyak orang mudah terjebak karena tidak memiliki fondasi pengetahuan keuangan yang kuat.

“Permasalahannya ada di sini. Orang hanya melihat peluang menang, tapi tidak memahami probabilitas, kerugian, dan dampak jangka panjang. Kalau literasi keuangannya rendah, mereka cenderung percaya pada janji-janji instan itu,” jelasnya.

Selain aspek literasi, Satria juga menyoroti peran keluarga, khususnya orang tua, dalam mengawasi penggunaan smartphone anak. Perangkat pintar, menurutnya, bisa menjadi sarana positif sekaligus pintu masuk hal-hal destruktif.

“Smartphone itu seperti pedang bermata dua. Bisa jadi sarana belajar, komunikasi, bahkan mencari penghasilan. Tapi tanpa pengawasan, bisa membuka akses pada hal-hal negatif, termasuk judi online. Karena itu, orang tua harus punya kontrol,” tegasnya.

Lebih lanjut, Satria menekankan bahwa literasi keuangan bukan sekadar kemampuan menghitung atau menabung, tetapi keterampilan mengambil keputusan finansial secara rasional.

“Literasi keuangan itu soal kemampuan membuat keputusan yang masuk akal. Misalnya, menghindari pinjaman berbunga tinggi. Kalau masyarakat punya keterampilan ini, mereka tidak akan mudah tergoda dengan tawaran judi online yang penuh tipu daya,” pungkasnya. (NF)


BAGIKAN