Keterbatasan lahan di wilayah perkotaan sering kali dianggap sebagai hambatan dalam membudidayakan pertanian. Namun, konsep urban farming atau pertanian kota membuktikan bahwa ruang sempit bukanlah penghalang untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Urban farming kini menjadi strategi efektif dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan, lonjakan harga bahan pokok, serta menurunnya kualitas lingkungan akibat minimnya ruang hijau. Dengan memanfaatkan area sempit seperti pekarangan rumah, balkon, teras, hingga atap bangunan, masyarakat perkotaan dapat menanam tanaman konsumsi secara mandiri, berkelanjutan, dan hemat biaya.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Program Studi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ir. Lis Noer Aini, S.P., M.Si. Menurutnya, keterbatasan lahan khas kawasan urban justru bisa menjadi peluang untuk menciptakan ruang produktif melalui pemanfaatan lahan pekarangan dan area terbengkalai.
“Pertanian perkotaan tidak harus dilakukan di rumah pribadi saja. Lahan tidur dan sisa ruang yang ada, bahkan di pinggir jalan, bisa dimanfaatkan sebagai ruang hijau produktif,” ujar Nenny, sapaan akrabnya, saat ditemui pada Kamis (17/7) di Kampus Terpadu UMY.
Urban farming juga memiliki dasar hukum yang kuat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa 30 persen dari luas wilayah kota harus dialokasikan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan 10 persen di antaranya merupakan RTH privat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Nenny menjelaskan bahwa berbagai metode budidaya kini telah tersedia untuk mengatasi keterbatasan lahan, di antaranya vertikultur (tanaman bertingkat), hidroponik (tanpa media tanah), hingga roof garden di atap rumah. Meski beberapa metode membutuhkan dukungan listrik dan perawatan khusus, manfaat jangka panjangnya sangat besar, terutama di lingkungan padat penduduk.
“Metode hidroponik, misalnya, cukup efisien dan cocok untuk daerah urban. Tanaman seperti sawi, cabai, dan terong bisa ditanam dengan media seperti polybag atau sistem tanam air,” ungkapnya.
Tak hanya berdampak pada ketahanan pangan, urban farming juga membantu menekan biaya konsumsi rumah tangga. Di tengah harga sayur-mayur yang relatif tinggi di perkotaan, menanam kebutuhan dapur sendiri dapat menjadi langkah praktis dan ekonomis. Bahkan, hasil panen berlebih bisa dijual untuk menambah penghasilan.
“Tanaman berumur pendek bisa dipanen dalam waktu singkat. Ini jelas mengurangi pengeluaran, bahkan berpotensi menjadi sumber pendapatan tambahan,” tambahnya.
Meski demikian, urban farming bukan tanpa tantangan. Salah satu kendala terbesar adalah keterbatasan sinar matahari akibat rapatnya bangunan di area perkotaan. Beberapa jenis tanaman memerlukan cahaya matahari langsung untuk tumbuh optimal, sehingga penempatan tanaman di ruang terbuka menjadi penting.
Namun demikian, keberhasilan urban farming sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat. Menurut Nenny, inisiatif ini idealnya dimulai dari rumah tangga sebagai unit terkecil dalam sistem pangan nasional.
Fakultas Pertanian UMY pun aktif mengedukasi masyarakat tentang urban farming melalui program pengabdian masyarakat yang menyasar siswa dari tingkat TK hingga SMA.
“Urban farming bukan hanya soal menanam. Ini tentang membangun kesadaran, kemandirian, dan ketahanan di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Mari mulai dari rumah masing-masing,” pungkas Nenny. (NF)