Masih ada sekitar 77% pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang belum memiliki legalitas formal. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha mikro masih berada di sektor informal, sehingga tidak dapat sepenuhnya mengakses fasilitas pembiayaan, pendampingan, dan perlindungan hukum yang disediakan pemerintah.
Data ini disampaikan oleh Sekretaris Kementerian UMKM, Arif Rahman Hakim, saat membuka Festival Kemudahan dan Perlindungan Usaha Mikro yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin (20/10). Arif menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi para pelaku usaha mikro tidak sederhana dan memerlukan pendekatan yang bersifat multidimensi serta melibatkan banyak pihak.
“Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Kita ingin meletakkan dasar bagaimana seorang pengusaha yang sukses dimulai dari legalitas usahanya,” ujar Arif dalam sambutannya.
Ia menegaskan bahwa legalitas bukan sekadar dokumen administratif, melainkan pijakan penting agar usaha mikro bisa berkembang menjadi usaha kecil, menengah, hingga besar. Menurut Arif, pengusaha mikro pun memiliki kompleksitas yang sama dengan pengusaha besar. Mereka berhadapan dengan beragam persoalan mulai dari pendanaan, operasional hingga pemasaran.
Pemerintah, melalui Kementerian UMKM, saat ini menargetkan peningkatan jumlah usaha naik kelas dari 3,06 persen menjadi 3,3 persen pada tahun 2029, atau sekitar 400 ribu pelaku usaha yang diharapkan dapat bertransformasi ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, pemerintah juga menargetkan pertumbuhan wirausaha baru hingga 1,2 juta orang dalam lima tahun mendatang. Arif menyebut, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan keterlibatan semua pihak karena permasalahan UMKM tidak sederhana dan bersifat multidimensi.
“Kita ingin meletakkan dasar bagaimana seorang pengusaha yang sukses dimulai dari legalitas usahanya. Para pelaku usaha mikro ini sudah menghadapi banyak tantangan. Karena itu, pendekatan pemberdayaan harus melibatkan banyak pihak dan berkolaborasi lintas sektor,” jelasnya.
Festival Kemudahan dan Perlindungan Usaha Mikro sendiri merupakan program nasional yang diadakan di berbagai daerah untuk memberikan layanan terpadu kepada pelaku UMKM. Di dalamnya tersedia berbagai fasilitas seperti pendaftaran Nomor Induk Berusaha (NIB), sertifikasi halal, izin edar PIRT, hingga pendaftaran hak merek. Selain itu, diselenggarakan pula seminar, konsultasi usaha dan akses pembiayaan.
UMY yang dipercaya sebagai tuan rumah festival ke-7 di tahun ini, menunjukkan bagaimana peran perguruan tinggi menjadi bagian penting dalam ekosistem pemberdayaan UMKM. Wakil Rektor bidang Mutu, Reputasi, dan Kemitraan UMY, Ir. Slamet Riyadi, M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa UMY berkomitmen mendukung upaya pemerintah dalam memperkuat sektor usaha mikro melalui kolaborasi, pendidikan, dan riset.
“Perguruan tinggi punya modal sumber daya manusia dan keilmuan. Kami punya dosen dan mahasiswa yang langsung turun membantu UMKM, baik melalui riset, pengabdian, maupun inovasi alat dan sistem informasi yang bisa mereka gunakan,” jelas Slamet.
Keterlibatan UMY terhadap UMKM dilakukan secara terpadu melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Salah satunya dengan pendampingan terhadap lebih dari 150 pelaku usaha untuk memperoleh sertifikat halal.
Selain kegiatan akademik, Slamet menjelaskan bahwa UMY juga memperkuat ekosistem kewirausahaan di lingkungan kampus. Dalam lima tahun ke depan, UMY menargetkan tumbuhnya inovasi berbasis keilmuan yang dapat diterapkan langsung bagi dunia usaha dan industri. (ID)