Belajar dari Anak-Anak

Rabu (6/11) lalu saya diminta untuk memberi inspirasi kepada para pelajar Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Al Husna Tanjung Priok Jakarta. Event tersebut menjadi spesial bagi saya karena pelajar SD yang ikut memiliki perbedaan usia yang beragam, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Saat pembukaan, selama 3 menit saya berbicara sudah terlihat suasana seru karena para siswa mulai asyik dengan aktivitasnya. Ada yang asyik berlari, berjalan-jalan, berdiri melihat kiri-kanan, dan ngobrol dengan temannya. Materi yang sudah saya siapkan pun akhirnya bubar dikarenakan bertambah serunya suara mereka mengalahkan volume suara saya.

Dalam keadaan seperti itu, pemateri harus siap dengan rencana ke dua (penyesuaian keadaan peserta). Saya pun langsung memutarkan sebuah video dari Thailand yang mengisahkan seorang anak miskin yang tidak membayar tiga pak obat yang diambilnya dari sebuah toko. Pemilik toko obat memarahi si anak sambil merogoh saku celana anak tersebut. Dia menemukan obat yang diambil si anak kemudian memarahi si anak dengan lantangnya. Tiba-tiba, datang seorang penjual sup ayam yang berusaha melerai keduanya dan bertanya kepada si anak: “Apakah ibumu sakit?” Si anak mengangguk. Tanpa berpikir panjang bapak penjual sup tadi langsung mengeluarkan uangnya dan membayar obat tadi dan meminta puterinya untuk mengambil satu bungkus sup. Si bapak pun memberikan bungkusan sup sambil memasukkan tiga pak obat serta memberikannya kepada si anak.

Anak miskin itu menatap si bapak sebentar, mengambil bungkusan tadi, lalu berlari. Layar video gelap dan muncul tulisan: '30 tahun kemudian'. Terdapat adegan seorang pengemis mendatangi sang bapak penjual sup ayam yang telah menua. Ia pun mengambil bungkusan sup yang sudah tersedia dan sepertinya memang sudah dipersiapkan ketika setiap pengemis datang. Sambil meminta puterinya untuk menyiapkan pesanan berikutnya, mendadak si bapak terhenti dan terjatuh ke lantai. Si anak berteriak dan posisi layer video sudah menunjukkan posisi sang bapak sedang opname di rumah sakit. Sang puteri menerima invoice dengan rincian biaya pengobatan 792.000 THB atau sekitar Rp 360 juta. Setelah berkonsultasi dengan dokter, ternyata tindakan harus segera diambil. Dalam keadaan menangis dan bingung, terlihat tulisan bahwa rumah yang sekaligus warung sang penjual sup tadi dijual. 

Dalam keadaan pasrah tersebut suatu pagi ketika terbangun dari tidurnya puteri penjual sup melihat ada surat di dalam amplop dan membukanya. Ia tertegun melihat surat itu. Air matanya perlahan mengalir dan tidak menyangka ternyata itu adalah invoice dengan rincian biaya 0 THB. Kemudian di bawah rincian itu terdapat catatan: “Semua sudah terbayar sejak 30 tahun lalu dengan tiga pak obat dan satu bungkus sup. Tertanda dr Prajak Arunthong”.

Dalam kenangan masa lalu itu terbayang ternyata si anak pengemis yang dibantu oleh pen jual sup itu tak lain adalah sang dokter rumah sakit tadi. Tampak tulisan “Giving is the best Communication”. Layar pun ditutup dengan beberapa gambar dr Prajak dengan para pasien yang pernah dibantunya.

Pembaca yang kreatif, setelah selesai menonton video itu anak-anak langsung hening sebentar dan momen itu saya manfaatkan untuk memberikan pesan: ”Senanglah berbuat baik kepada orang lain. Membantu orang tua, guru, kakak, adik, dan teman. Suatu saat, kebaikan itu akan kembali lagi kepada kita”.

Pembaca yang kreatif, inspirasi berharga saya dapatkan dari anak-anak. Betapa kita harus sangat ekspresif, antusias, dan seperti teman ketika masuk ke dunia mereka.

Selamat mencoba. Sehat dan sukses selalu.

Tulisan ini dimuat di harian Republika tanggal 8 November 2019 di Rubrik Inspira halaman 13.


BAGIKAN