Oleh: Puji Qomariyah, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
Setiap tanggal 2 Juli, Indonesia memperingati Hari Kelautan Nasional, sebuah momen yang ditetapkan sejak 1972 melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1972. Peringatan ini tidak hanya sekadar seremonial, melainkan upaya untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya laut sebagai sumber kehidupan, ekonomi, dan identitas bangsa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut mencapai 5,8 juta km² dan garis pantai sepanjang 99.083 km garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kelestarian laut.
Dalam perspektif sosiologi maritim, Hari Kelautan Nasional dapat dianalisis sebagai upaya untuk memperkuat relasi antara manusia, budaya, dan ekosistem laut. Sosiologi maritim memandang laut bukan hanya sebagai entitas fisik, tetapi juga sebagai ruang sosial yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya, ekonomi, dan politik. Masyarakat pesisir dan suku laut, memandang laut sebagai sumber penghidupan sekaligus bagian dari identitas. Namun, globalisasi dan industrialisasi telah menggeser makna laut dari "ruang hidup" menjadi "komoditas ekonomi", yang seringkali mengabaikan keberlanjutan ekologis.
Teori Social Construction of Nature (Berger & Luckmann, 1966) relevan di sini laut di Indonesia tidak hanya dipahami sebagai kumpulan air, tetapi juga sebagai simbol kedaulatan (Deklarasi Djuanda, 1957), sumber pariwisata, dan arena konflik antara kepentingan industri versus masyarakat lokal. Salah satu tantangan terbesar dalam konservasi laut adalah ketimpangan partisipasi. Selama ini, kebijakan kelautan seringkali bersifat top-down, mengabaikan pengetahuan lokal dan hak masyarakat adat . Padahal, penelitian menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang dikelola secara kolaboratif (co-management) lebih efektif dalam menjaga keanekaragaman hayati.
Contoh nyata adalah program Kawasan Konservasi Perairan yang ditargetkan mencapai 32,5 juta hektar pada 2030. Namun, tanpa melibatkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, kebijakan ini berisiko meminggirkan kelompok rentan.
Hari Kelautan Nasional harus menjadi momentum untuk merefleksikan ketidakadilan struktural dalam pengelolaan laut. Nelayan tradisional seringkali menjadi korban dari kebijakan zonasi yang membatasi akses mereka ke wilayah tangkapan. Sampah plastik dan polusi industri mencemari laut, tetapi beban pembersihan justru dibebankan pada komunitas pesisir. Pariwisata bahari kadang mengorbankan ekosistem terumbu karang demi keuntungan ekonomi segelintir pihak.
Peringatan Hari Kelautan Nasional tidak boleh berhenti pada kampanye simbolis, tetapi harus menjadi gerakan sosial yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Misalnya dengan melibatkan masyarakat adat dan nelayan dalam perencanaan konservasi, melakukan edukasi ekologi, dengan meningkatkan kesadaran melalui kurikulum berbasis kearifan lokal, membuat regulasi berkeadilan dengan memberikan insentif bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Laut adalah masa depan bangsa. Dengan pendekatan sosiologi maritim, kita dapat membangun kesadaran bahwa melestarikan laut bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat.