Ketua Ombudsman RI: Perguruan Tinggi Harus Jadi Garda Depan Membangun Masyarakat Anti-Maladministrasi

Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Mokhammad Najih, S.H., M.Hum., Ph.D., menegaskan pentingnya peran perguruan tinggi dalam membangun budaya masyarakat yang bersih, berintegritas, dan bebas dari maladministrasi. Hal ini disampaikan dalam kegiatan bertajuk “Tantangan Perguruan Tinggi dalam Membangun Masyarakat Anti-Maladministrasi: Sinergi Ombudsman dan Perguruan Tinggi” yang diselenggarakan di ruang Auditorium, Gedung Piwulangan lantai 3, Kampus Terpadu Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta pada hari Jumat (10/10).

Kegiatan ini menghadirkan kalangan akademisi, mahasiswa, dan perwakilan lembaga publik, dengan tujuan memperkuat sinergi antara Ombudsman dan perguruan tinggi dalam membangun tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Dalam paparannya, Najih menjelaskan bahwa perguruan tinggi kini berada di tengah pusaran perubahan besar akibat transformasi digital, revolusi kecerdasan buatan (AI), dan persaingan global yang semakin ketat. Ia menyoroti laporan World Economic Forum 2024 yang menyebutkan bahwa 44 persen keterampilan kerja akan mengalami disrupsi dalam lima tahun ke depan akibat perkembangan teknologi.

“Kampus tidak boleh sekadar menjadi tempat transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga laboratorium etika publik dan integritas. Dunia pendidikan tinggi harus melahirkan sumber daya manusia yang adaptif, kreatif, serta tangguh dalam menghadapi perubahan zaman,” ujarnya.

Beliau juga menyoroti kesenjangan mutu pendidikan, rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi yang baru mencapai 32 persen, serta lemahnya budaya riset dan hilirisasi hasil penelitian di Indonesia. Menurutnya, hal ini perlu dijawab dengan reformasi kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri serta penerapan kebijakan micro-credential untuk menggabungkan jalur akademik dan vokasi secara fleksibel.

Najih menjelaskan bahwa Ombudsman RI sebagai lembaga negara independen memiliki mandat penting dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Ombudsman, lanjutnya, berperan dalam menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat atas dugaan maladministrasi, memberikan saran kepada pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pelayanan publik, hingga melakukan investigasi dan pencegahan terhadap potensi penyalahgunaan wewenang.

“Maladministrasi bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi bisa berdampak luas terhadap kepercayaan publik, stabilitas sosial, bahkan investasi ekonomi. Karena itu, pendidikan anti-maladministrasi harus ditanamkan sejak dini, dan perguruan tinggi memiliki posisi yang sangat strategis dalam hal ini,” tegas Najih.

Beliau juga memaparkan bahwa praktik maladministrasi memiliki multiple effect: menurunkan investasi, meningkatkan pengangguran, menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, hingga memicu konflik sosial akibat ketimpangan layanan publik.

Untuk mencegah maladministrasi dan menumbuhkan kesadaran publik terhadap pentingnya tata kelola yang bersih, Ombudsman RI memperkuat sinergi dengan dunia pendidikan tinggi melalui berbagai langkah konkret.

Program kerja sama yang ditempuh antara Ombudsman dan perguruan tinggi mencakup: Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam kerangka Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), pembentukan unit pengawas pelayanan publik di kampus sebagai laboratorium pembelajaran integritas, dan keterlibatan mahasiswa sebagai “Sahabat Ombudsman” untuk mengamati dan melaporkan potensi maladministrasi di lingkungan sekitar.

“Kami ingin agar kampus menjadi ruang moral dan intelektual yang menumbuhkan kepekaan terhadap isu pelayanan publik. Mahasiswa harus menjadi agen pengawas sosial yang berani bersuara demi keadilan dan pelayanan publik yang berkualitas,” jelas Najih.

Dalam diskusi tersebut, Najih juga menegaskan bahwa keberhasilan mewujudkan Indonesia Emas 2045 tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kualitas tata kelola publik dan integritas penyelenggara negara.

Hasil Survei Kepatuhan Pelayanan Publik 2024 menunjukkan bahwa seluruh pemerintah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta telah berada di zona hijau, menandakan tingkat kepatuhan dan kualitas pelayanan publik yang tinggi. Namun demikian, Najih mengingatkan agar prestasi tersebut tidak membuat lengah, sebab mulai tahun 2025 sistem penilaian akan beralih menjadi opini pengawasan, yang menilai konsistensi terhadap tindak lanjut rekomendasi Ombudsman.

“Nilai kepatuhan bukanlah akhir, melainkan awal dari komitmen jangka panjang untuk memperkuat pelayanan publik yang bersih, adil, dan berorientasi pada kepentingan rakyat,” pungkasnya.

Kegiatan ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara Ombudsman Republik Indonesia dan perguruan tinggi dalam membangun budaya anti-maladministrasi. Melalui pendidikan, riset, dan pengawasan sosial, kampus diharapkan menjadi motor perubahan menuju masyarakat yang berintegritas, transparan, dan berdaya yang sejalan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045.


BAGIKAN