Komisi Reformasi Polri Dibentuk, Akademisi UMY Tegaskan Pentingnya Revisi UU Kepolisian

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Keppres No. 122/P Tahun 2025 dinilai sangat mendesak dan menjadi pintu masuk utama untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Isnaini Mualidin, S.IP., M.P.A., menilai urgensi reformasi ini lahir dari meningkatnya kegelisahan publik dan meluasnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Akar persoalan tersebut, menurutnya, tertanam kuat pada kewenangan Polri yang terlalu luas dan bersifat multi-authority, sebagaimana tertuang dalam UU Kepolisian.

“Inti dibentuknya Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian adalah untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas problem ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian hari ini. Tapi sasaran jangka menengahnya jelas: mengubah Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002,” ujar Isnaini, Selasa (18/11) di Ruang Prodi IP UMY.

Isnaini menjelaskan bahwa sejak dipisahkan dari TNI dan ditempatkan langsung di bawah Presiden, UU 2/2002 justru memberikan kewenangan sangat besar kepada Polri, melampaui fungsi utamanya sebagai civilian police (polisi sipil). Keleluasaan ini, katanya, memicu disorientasi kelembagaan dan membuka ruang terjadinya “overdosis kekuasaan” dalam tubuh Polri.

Disorientasi tersebut tampak dari melebar­nya fungsi kepolisian hingga masuk pada urusan yang tidak relevan dengan tugas pokok, seperti pengamanan investasi, yang rentan menimbulkan praktik kolusi. Selain itu, fungsi semi-militer seperti Brimob dan Densus 88 tetap dipertahankan, padahal fungsi pertahanan seharusnya berada di tangan militer.

“Fungsi penyelidikan korupsi juga tumpang tindih dengan KPK dan Kejaksaan. Siapa yang duluan masuk, ya polisi. Itu karena di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 kewenangannya sangat luas,” imbuhnya.

Menurut Isnaini, tugas besar Komisi Percepatan adalah mengembalikan paradigma Polri sebagai polisi sipil yang fokus pada penegakan hukum kriminal, menjaga ketertiban masyarakat, dan menangani kejahatan siber, bukan sebagai pemain politik atau lembaga yang menjalankan fungsi pertahanan.

Meski komposisi komisi dinilai cukup ideal karena diisi tokoh-tokoh berintegritas seperti Prof. Jimly Asshiddiqie dan Prof. Mahfud MD, Isnaini melihat adanya dilema karena tim ini juga melibatkan figur status quo, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Meski begitu, ia tetap optimistis.

“Tim ini cukup ideal untuk bergerak cepat. Ada menteri-menteri yang saya kira berintegritas. Yang terpenting, mereka mampu mengubah paradigma kepolisian yang semi-militer menjadi polisi sipil. Polri harus ditarik kembali menjadi institusi yang benar-benar civilian,” pungkasnya. (FU)


BAGIKAN