MENYELAMATKAN MBG: INVESTASI SDM CERDAS MELALUI SOLUSI SISTEMIK

Guncangan krisis keracunan dan krisis kepercayaan pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak boleh berakhir pada saling menyalahkan. Momentum ini justru harus menjadi titik tolak transformasi, dimana Indonesia beralih dari kebijakan yang top-down dan terburu-buru, menuju model yang partisipatif, teruji dan berkelanjutan. Perlu dengan rendah hati belajar baik pada kesuksesan negara lain maupun pada potensi solusi yang sudah tumbuh di negeri sendiri.

Analisis terhadap program makan sekolah di berbagai negara mengungkap kunci keberhasilan yang justru absen dalam peluncuran MBG di Indonesia. Kajian akademis mengungkap bahwa negara-negara dengan program sukses memiliki landasan kebijakan yang jelas dan tujuan nasional yang terdefinisi dengan baik. Berbeda dengan MBG yang masih digantungi petunjuk teknis internal dan tanpa Peraturan Presiden hingga pertengahan 2025, yang menurut Transparency International Indonesia (TII) menciptakan kerentanan korupsi sistemik dan koordinasi yang kacau .

Tiga Model Sukses dari Negara Lain

Program National School Feeding Programme (PNAE) Brasil adalah contoh  bagaimana kebijakan pangan bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus, yaitu gizi anak dan kesejahteraan petani. Kunci keberhasilannya adalah aturan yang mewajibkan minimal 30% anggaran pemerintah daerah digunakan untuk membeli langsung dari petani keluarga lokal. Kebijakan Dari Lokal, untuk Lokal ini memutus rantai pasok panjang yang rentan, memastikan kesegaran bahan, sekaligus mengalirkan dana anggaran negara langsung ke perekonomian akar rumput. Hasilnya anak-anak mendapat makanan lebih segar dan bergizi, sementara pendapatan petani kecil meningkat signifikan.

India membuktikan bahwa melayani ratusan juta siswa (program PM POSHAN) bukan hal mustahil, asal didukung sistem monitoring yang kuat. Mereka memanfaatkan teknologi dengan aplikasi pelaporan real-time yang memungkinkan guru dan orang tua melaporkan kualitas makanan langsung ke pemerintah pusat. Sistem ini diperkuat dengan audit sosial independen yang melibatkan komunitas. Pendekatan ini menciptakan transparansi dan akuntabilitas, memastikan bantuan sampai di perut siswa, tidak bocor ditengah jalan.

Bagi Jepang makan siang sekolah atau Kyushoku bukan sekadar urusan kenyang, melainkan bagian inti dari kurikulum pendidikan. Menu dirancang oleh ahli gizi, menggunakan bahan segar lokal dan yang terpenting, prosesnya melibatkan siswa secara aktif. Anak-anak bergiliran menyajikan makanan untuk temannya, belajar tentang nutrisi, asal-usul makanan dan tata krama makan. Filosofinya adalah mendidik generasi yang cerdas bukan hanya secara akademis, tetapi juga dalam pola konsumsi dan penghargaan terhadap pangan. Bagi Jepang makanan adalah pelajaran hidup.

Di Indonesia kita juga punya contoh baik Kantin Sehat SDN 01 Menteng, Jakarta Pusat. Kantin ini berhasil menciptakan ekosistem pangan sekolah yang aman dan edukatif dengan beberapa langkah  dengan menyampaikan transparansi bahan, setiap bahan yang digunakan diketahui sumber dan kualitasnya. Hidangan sehat, menyajikan menu bergizi seimbang dengan mengurangi gula, garam, dan lemak. Pendampingan ahli, Dinas Kesehatan dan BBPOM setempat aktif membina pengelola kantin. Serta edukasi siswa, siswa tidak hanya sebagai konsumen pasif, tetapi juga diedukasi untuk menjadi konsumen cerdas yang bisa memilih jajanan sehat.

Model-model di atas menunjukkan bahwa kunci sukses MBG terletak pada desain sistem, bukan sekadar niat baik. Brasil mengajarkan pentingnya kemandirian ekonomi lokal, India menunjukkan kekuatan pengawasan partisipatif, Jepang menekankan pendidikan karakter, dan Kantin Menteng membuktikan bahwa semua itu bisa dimulai dari satu sekolah yang dikelola dengan serius.

Sebenarnya PBB melalui berbagai agensinya memberikan dukungan teknis yang krucial bagi Indonesia. World Food Programme (WFP) membantu eksplorasi AI-driven menu optimization untuk menyeimbangkan nutrisi, ketersediaan dan harga. Sementara UNICEF aktif dalam menyusun standar nasional, pelatihan tenaga dapur dan memastikan standar air dan sanitasi. Dukungan ini seharusnya diadopsi secara maksimal.

Program yang efektif tidak hanya menitikberatkan pada piring makan, tetapi juga pada pembangunan budaya makan yang cerdas. UNICEF menekankan pentingnya pendidikan gizi komprehensif bagi siswa, orang tua dan staf sekolah untuk membangun kebiasaan sehat yang berkelanjutan .

Selain mengejar ketertinggalan dengan standar global, Indonesia sebenarnya telah memiliki blueprint yang terbukti lebih aman dan berkelanjutan yaitu kantin sehat. Model kantin sehat adalah alternatif yang telah teruji dan bisa dipilih untuk diselaraskan dengan program pusat sekaligus menciptakan ekosistem pangan sekolah yang lebih sehat dan terkontrol. Pendekatan ini memitigasi risiko logistik yang menjadi penyebab utama keracunan. BBPOM bisa berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan dan Kesehatan menyelenggarakan sosialisasi kantin sehat dengan melibatkan kepala sekolah, guru dan penjual kantin, dengan membekali mereka pengetahuan memilih pangan aman, menggunakan test kit dan penilaian kantin sehat, yang merupakan bentuk pengawasan partisipatif yang efektif.

Berbeda dengan model dapur pusat yang rentan terhadap kartel, model kantin sehat yang dikelola secara mandiri oleh koperasi sekolah atau masyarakat setempat dapat menjadi saluran alami untuk menyerap produk petani dan UMKM lokal. Hal ini selaras dengan dukungan FAO dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang bekerja untuk menghubungkan produsen lokal dengan pasar termasuk program MBG .

Mengapa transformasi ke model kantin sehat adalah sebuah keharusan?

Krisis keracunan dalam program MBG yang menggunakan model dapur pusat menunjukkan kerapuhan sistemiknya. Rantai pasok yang panjang dan terpusat tidak hanya rentan terhadap kontaminasi, tetapi juga memutus hubungan antara sekolah dengan ekosistem pangan lokalnya.

Sebaliknya, model kantin sehat yang terdesentralisasi menawarkan solusi yang lebih resilien. Dengan memendekkan rantai pasok dari produsen lokal ke konsumen (siswa), model ini bukan hanya meminimalkan risiko kontaminasi, tetapi juga menjamin kesegaran bahan baku secara langsung, membangun ekonomi sirkular dengan memberdayakan petani dan UMKM sekitar sekolah serta menciptakan pengawasan partisipatif yang melibatkan guru, orang tua dan siswa secara langsung.

Perbandingan dalam tabel berikut ini menunjukkan secara jelas mengapa transformasi menuju model kantin sehat bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk menyelamatkan cita-cita mulia MBG.

Tabel: Perbandingan Model MBG Dapur Pusat dengan Model Kantin Sehat

Aspek

Model Dapur Pusat (Masalah)

Model Kantin Sehat (Solusi)

Rantai Pasok

Panjang & kompleks, rentan kontaminasi

Pendek & sederhana, kontrol lebih mudah

Pengawasan Mutu

Terpusat & birokratis, lambat merespon

Terdesentralisasi, melibatkan komunitas sekolah

Dampak Ekonomi

Berpotensi dimonopoli pemain besar

Memberdayakan pedagang & UMKM lokal

Aspek Budaya

Menu seragam, mengabaikan kearifan lokal

Fleksibel, menghargai selera & tradisi lokal

Ketahanan Sistem

Rentan gagal sistemik di satu titik

Tahan banting, setiap unit mandiri

Sumber: analisis sosiologis

 

Kegagalan implementasi bukan akhir dari cita-cita mulia MBG. Tetapi tanda bahwa kita harus berani berubah haluan. Solusi sistemik yang ditawarkan adalah sintesis dari pelajaran global dan kearifan lokal, yaitu sebuah model hibrida.

Pemerintah dapat mendorong terciptanya klaster-klaster kantin sehat yang didukung oleh dapur pusat berskala kecil (tingkat kecamatan) yang berfungsi sebagai penyuplai bahan pangan utama dan pemantau kualitas, alih-alih sebagai produsen makanan jadi. Logika pemerintahan yang terdesentralisasi dan partisipatif akan menggantikan logika komando dari pusat yang telah terbukti rapuh. Transisi menuju model yang lebih sehat, aman dan partisipatif ini bukan hanya akan menyelamatkan perut anak-anak kita, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik dan mewujudkan politik pangan yang sesungguhnya berdaulat, karena dibangun dari partisipasi dan untuk kemaslahatan riil di tingkat akar rumput.

Kisah sukses Brasil, India dan Jepang membuktikan bahwa program makan sekolah yang efektif lahir dari pendekatan yang kontekstual dan sistemik. Mereka tidak sekadar membagikan makanan, tetapi membangun ekosistem pangan yang berkelanjutan. Momentum perbaikan MBG harus dimanfaatkan untuk beralih dari paradigma bagi-bagi nasi menuju investasi SDM yang cerdas. Dengan mengadopsi yang terbaik dari dunia dan menyelaraskannya dengan kearifan lokal, MBG tidak hanya bisa mengatasi krisis keracunan, tetapi menjadi fondasi kokoh untuk generasi Indonesia yang lebih sehat, cerdas dan berdaya saing.

 

Puji Qomariyah, M.Si

Dosen Sosiologi (mengampu matakuliah Budaya Politik Pangan) dan Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pendidikan SPS-IP UNY

 


BAGIKAN