Oleh: Elza Qorina Pangestika, S.H., M.H., Dosen Program Studi Hukum dan Kepala Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
Tanggal 10 November setiap tahun menjadi momen bangsa Indonesia mengenang perjuangan para pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan. Namun, dalam konteks kekinian, makna “pahlawan” tidak hanya dimonopoli oleh mereka yang berjuang di medan perang. Pahlawan juga bisa lahir dari ruang-ruang perjuangan sosial, termasuk dunia kerja. Tahun 2025 menjadi istimewa karena pemerintah akhirnya menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, sosok buruh perempuan yang gugur memperjuangkan keadilan bagi kaum pekerja.
Marsinah adalah buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya di Porong, Sidoarjo. Ia dikenal aktif menuntut hak-hak pekerja, khususnya terkait kenaikan upah minimum. Pada tahun 1993, setelah mogok kerja yang menuntut perbaikan nasib buruh, Marsinah ditemukan tewas dengan tanda-tanda kekerasan. Peristiwa tragis itu mengguncang nurani publik. Ia menjadi simbol keberanian dan keteguhan pekerja Indonesia melawan ketidakadilan sistemik.
Selama bertahun-tahun, berbagai organisasi buruh, aktivis HAM, dan akademisi memperjuangkan agar Marsinah diakui sebagai pahlawan bangsa. Bukan semata karena kematiannya, tetapi karena nilai-nilai yang ia perjuangkan: keadilan, kesetaraan, dan martabat pekerja. Maka, ketika Presiden Indonesia pada tahun 2025 akhirnya memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, keputusan ini terasa sebagai pemulihan moral Sejarah, “pengakuan bahwa perjuangan pekerja pun adalah bagian dari perjuangan bangsa”.
Pengakuan terhadap Marsinah mengajak kita merefleksikan kembali makna kepahlawanan di era modern. Jika dahulu pahlawan berjuang melawan penjajahan fisik, kini perjuangan itu beralih pada bentuk penjajahan struktural: ketimpangan ekonomi, eksploitasi tenaga kerja, dan ketidakadilan industrial.
Dalam perspektif hukum ketenagakerjaan, perjuangan Marsinah dapat dimaknai sebagai perjuangan untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar yang kini menjadi pilar hubungan industrial di Indonesia, yaitu keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan hukum bagi pekerja. Nilai-nilai itu kini hidup dalam berbagai peraturan seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).
Namun, semangat hukum sering kali tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Praktik outsourcing yang longgar, sistem kerja kontrak tanpa kepastian, hingga pelanggaran hak berserikat masih menjadi “luka lama” dunia ketenagakerjaan Indonesia. Di sinilah makna kepahlawanan baru diuji: berani bersuara dan memperjuangkan perbaikan sistem tanpa kekerasan, seperti yang dilakukan Marsinah.
Sebagai perempuan pekerja, Marsinah juga membuka bab penting tentang gender dan ketenagakerjaan. Dalam sektor industri, perempuan seringkali menempati posisi paling rentan, bergaji rendah, minim jaminan sosial, dan rawan diskriminasi. Perjuangan Marsinah bukan hanya tentang buruh secara umum, melainkan juga tentang keberanian perempuan untuk menuntut hak dan kesetaraan di ruang publik yang sering mengabaikan suara mereka.
Dalam konteks ini, perjuangan Marsinah sejajar dengan semangat feminisme kerja (working feminism) yakni upaya perempuan untuk diakui bukan karena kelembutan, tetapi karena kontribusi dan kompetensinya. Kepahlawanan Marsinah adalah kepahlawanan perempuan Indonesia yang menolak bungkam di tengah ketimpangan.
Bagi kalangan akademik dan praktisi hukum, kisah Marsinah menjadi pengingat bahwa hukum tidak lahir di ruang steril. Ia berakar pada realitas sosial. Diskursus hukum ketenagakerjaan perlu terus dikaitkan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan substantif. Perguruan tinggi memiliki peran besar dalam membangun kesadaran kritis ini, melalui riset, advokasi kebijakan, dan pendidikan hukum yang berpihak pada keadilan sosial.
Sebagai Kepala Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan, saya melihat penghargaan terhadap Marsinah sebagai momentum reflektif. Ini bukan sekadar penghormatan kepada individu, melainkan ajakan bagi kita semua untuk melanjutkan perjuangannya dengan cara yang sesuai zaman: memperjuangkan kebijakan ketenagakerjaan yang adil, memastikan implementasi norma hukum berjalan efektif, serta memperkuat posisi pekerja dalam dialog sosial.
Setiap pekerja sejatinya bisa menjadi pahlawan dalam ruangnya masing-masing: dengan bekerja jujur, menghormati hak rekan kerja, atau menolak praktik tidak adil di tempat kerja. Kepahlawanan modern tidak selalu lahir dari pengorbanan besar; kadang ia tumbuh dari keberanian kecil untuk bersikap benar.
Spirit Hari Pahlawan tahun ini mengingatkan kita bahwa bangsa ini berdiri di atas keringat para pekerja, mulai dari buruh pabrik hingga tenaga profesional. Mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional. Maka, ketika Marsinah kini dikenang sebagai Pahlawan Nasional, sebenarnya kita sedang memuliakan seluruh pekerja Indonesia yang berjuang di balik layar pembangunan.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan. Ia adalah simbol bahwa perjuangan buruh bukan perlawanan, melainkan bagian dari cita-cita kemerdekaan: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari Pahlawan 2025 mengajak kita menafsirkan ulang kepahlawanan dengan cara yang lebih inklusif. Bahwa pahlawan tak hanya mereka yang mengangkat senjata, tapi juga mereka yang berani bersuara atas nama keadilan. Dan di antara mereka, nama Marsinah kini berdiri sejajar dengan para pahlawan bangsa.