Pakar UMY Luruskan Isu Family Office: Tak Gunakan APBN, Fokus pada Regulasi dan Investasi

Isu pembentukan Family Office yang sempat ramai dibicarakan publik usai mendapat penolakan dari Menteri Keuangan serta sejumlah pihak, dinilai perlu dipahami secara lebih proporsional. Perdebatan tersebut memunculkan kebingungan di masyarakat mengenai fungsi Family Office, yang kerap disalahartikan sebagai lembaga baru yang akan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dosen Program Studi Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Susilo Nur Aji Cokro Darsono, S.E., MRDM., Ph.D., menegaskan bahwa Family Office bukanlah lembaga publik yang dibiayai negara, melainkan firma pengelola kekayaan privat milik keluarga dengan aset besar yang dikelola secara profesional.

“Family Office itu firma pengelolaan kekayaan privat, bukan lembaga publik. Biasanya dimiliki oleh keluarga dengan aset lebih dari 100 juta dolar AS. Layanannya mencakup manajemen investasi, perencanaan pajak dan waris, tata kelola keluarga, hingga kegiatan filantropi,” jelas Susilo saat dihubungi pada Senin (20/10).

Dalam konteks nasional, Susilo menilai pemerintah tidak sedang membentuk Family Office baru, melainkan menyiapkan regulasi dan ekosistemnya agar perusahaan pengelola kekayaan global dapat beroperasi di Indonesia dengan tata kelola yang transparan dan sehat.

“Yang sedang dibangun pemerintah bukan Family Office-nya, tetapi regulasinya. Negara berperan memfasilitasi ekosistemnya melalui kepastian hukum, kejelasan perpajakan, kepatuhan terhadap prinsip anti-money laundering, serta kemudahan perizinan investasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Susilo menjelaskan bahwa konsep Family Office berbeda dengan sovereign wealth fund, karena tidak menggunakan dana negara. Indonesia sendiri telah memiliki sovereign wealth fund yaitu Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau INA, sedangkan Family Office murni dijalankan oleh sektor swasta.

Terkait isu penggunaan APBN, Susilo menegaskan bahwa dana publik tidak digunakan untuk mendirikan Family Office, melainkan hanya untuk mendukung penyusunan kebijakan dan sistem pendukungnya.

“Pemerintah tidak boleh menggunakan APBN untuk membangun Family Office. Yang dapat didukung dengan dana publik hanyalah ekosistemnya, seperti penyusunan regulasi atau koordinasi antar lembaga,” tegasnya.

Dari sisi ekonomi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMY ini menilai keberadaan Family Office dapat menjadi mesin investasi jangka panjang bagi Indonesia. Dengan menarik konglomerat global untuk menanamkan modal melalui Family Office domestik, arus modal jangka panjang terhadap saham, obligasi, maupun sektor riil dapat meningkat signifikan.

Susilo juga menilai Family Office berpotensi menjadi bagian dari strategi besar Indonesia dalam memperkuat daya saing ekonomi regional. Dengan catatan, regulasi yang diterapkan harus jelas, transparan, dan berpihak pada kepentingan nasional.

Namun, ia mengingatkan bahwa manfaat ekonomi dari keberadaan Family Office perlu dijaga agar tidak hanya dinikmati oleh segelintir pihak.

Sebagai langkah konkret, Susilo merekomendasikan agar dana yang masuk melalui Family Office diarahkan untuk pembangunan proyek-proyek produktif di dalam negeri yang menyerap tenaga kerja dan menggunakan jasa lokal.

“Misalnya, modal yang masuk bisa disalurkan untuk proyek pembangunan dalam negeri. Dengan begitu, tenaga kerjanya berasal dari profesional lokal, dan belanja jasanya juga menggunakan produk dalam negeri. Jadi manfaatnya terasa langsung bagi masyarakat,” pungkasnya. (ID)


BAGIKAN