Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menaruh perhatian serius terhadap fenomena warga negara ganda (double citizenship) yang disandang sebagian diaspora Indonesia di Turki. Menurut Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UMY, Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., status tersebut dapat menjadi rentan secara politik apabila para diaspora tidak mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sosial dan budaya setempat.
Hal ini disampaikan Prof. Zuly menjelang keberangkatannya ke Turki pada Senin (20/10), dalam rangka menemui sekaligus memberikan pendampingan bagi diaspora Indonesia di negara tersebut.
“Kami ingin menemui beberapa warga negara Indonesia yang tinggal di Turki, yang sebagian sudah menjadi double citizenship,” ujar Zuly saat ditemui di ruang kerjanya.
Menurutnya, fenomena warga negara ganda bukanlah hal baru dan dapat ditemukan di banyak negara, termasuk Turki. Banyak warga Indonesia menetap di sana karena menikah dengan warga lokal, namun tetap mempertahankan identitas dan keterikatan dengan Indonesia.
Namun, lanjutnya, kerentanan politik dapat muncul ketika mereka tidak berhasil beradaptasi dengan baik dalam aspek budaya, iklim, maupun ekonomi.
“Kalau mereka tidak bisa beradaptasi dengan baik dalam hal budaya, iklim, maupun ekonomi, itu bisa sangat berbahaya secara politik,” tegasnya.
Kunjungan dan program pengabdian ini bertujuan untuk berdialog langsung dengan para diaspora, memahami persoalan yang mereka hadapi, serta menawarkan solusi dari perspektif akademik dan sosial. Zuly juga menyoroti dinamika anak-anak hasil pernikahan campur yang sering kali menghadapi dilema identitas dan keinginan untuk tinggal di Indonesia.
Sebagai langkah awal, UMY akan menyiapkan buku saku panduan berisi arahan praktis bagi diaspora terkait status kewarganegaraan ganda serta langkah-langkah adaptasi sosial yang perlu dilakukan. Ke depan, UMY berencana mengembangkan program pengabdian reguler di Turki untuk memberikan pendampingan berkelanjutan, termasuk dalam bidang penguatan ekonomi keluarga.
Berdasarkan literatur yang ia pelajari, Zuly menjelaskan bahwa warga negara kelas dua atau imigran sering kali menghadapi diskriminasi dalam berbagai bidang, seperti perumahan, pekerjaan, dan pendidikan.
“Mereka secara teoretis punya hak housing, tetapi biasanya hanya sebatas sewa. Dalam pekerjaan juga sering mengalami diskriminasi, dan di bidang politik mereka umumnya hanya bisa menjadi pemilih, bukan yang dipilih,” terangnya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya kemampuan beradaptasi secara budaya dan bahasa bagi diaspora. Ia mengingatkan bahwa menampilkan kultur Indonesia secara berlebihan di negara asing juga bisa menimbulkan risiko sosial.
“Kalau terlalu ekstrem menampilkan kultur Indonesia di negara asing, itu bisa berbahaya,” ujarnya.
Oleh karena itu, UMY merasa perlu memberikan edukasi agar diaspora bersikap adaptif, memahami aturan negara tempat tinggal, serta menyadari posisi mereka sebagai second citizenship, bukan first citizenship. Menurut Zuly, fenomena serupa juga dialami para imigran di negara maju seperti Jepang, Kanada, dan Jerman, di mana kurangnya kemampuan beradaptasi dapat memicu gesekan sosial.
“Kami ingin para diaspora Indonesia bisa beradaptasi, hidup aman, dan tetap membawa nilai-nilai positif bangsa tanpa menimbulkan kerentanan politik di negara tempat mereka tinggal,” pungkasnya. (FU)