Oleh: Puji Qomariyah, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
Setiap 12 Juli, kita merayakan Hari Koperasi dengan semangat Bung Hatta "Koperasi adalah sokoguru ekonomi rakyat." Tapi di balik slogan mulia itu, tersimpan pertanyaan Benarkah koperasi masih menjadi pilar kesejahteraan, atau justru tinggal kenangan manis yang semakin memudar? Di desa, koperasi bergulat dengan masalah klasik, salah urus, minim transparansi, dan kalah bersaing dengan rentenir. Di kota, ia tersingkir oleh fintech dan bank digital. Lantas, masih relevankah koperasi di era sekarang? Tulisan ini mengajak kita menelisik jarak antara cita-cita luhur koperasi dengan realitanya hari ini - termasuk peluang Koperasi Merah Putih dan tantangannya berhadapan dengan BUMDes. Karena merayakan warisan saja tidak cukup - kita harus berani menatap masalahnya.
Koperasi sering disebut sebagai "soko guru perekonomian nasional" dan dianggap sebagai instrumen penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput. Namun, di tengah euforia peringatan Hari Koperasi pada 12 Juli 2025, muncul pertanyaan apakah koperasi benar-benar mampu menyejahterakan masyarakat, atau hanya sekadar mitos yang terus dipelihara?
Analisis ini akan mengkaji peran koperasi dari perspektif sosiologi, melihat upaya pemerintah melalui peluncuran Koperasi Merah Putih, realitas koperasi yang ada saat ini, serta hubungannya dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diatur dalam UU Desa.
Prinsip koperasi adalah gotong royong, demokrasi ekonomi, dan partisipasi kolektif, yang sejalan dengan teori solidaritas organik Emile Durkheim. Koperasi memadukan peran individu untuk menciptakan kekuatan kolektif. Koperasi adalah organ ekonomi yang hidup dalam masyarakat modern. Koperasi juga memperkuat modal sosial (social capital) dalam masyarakat, sebagaimana dikemukakan Robert Putnam, karena membangun kepercayaan dan jaringan antaranggota. Konsep social capital menekankan pada nilai kolektif yang lahir dari jaringan sosial, kepercayaan, dan norma timbal balik dalam masyarakat. Modal sosial ini menjadi lem atau perekat yang memperkuat ketahanan ekonomi komunitas. Masyarakat dengan modal sosial tinggi lebih mampu menghadapi krisis karena memiliki tradisi gotong royong yang hidup. Dan modal sosial hanya efektif jika dikelola dengan tata kelola baik.
Secara teoritis idealitanya seperti itu, namun, dalam praktiknya, koperasi sering terjebak dalam konflik kepentingan dan eksploitasi oleh elite lokal. Teori Marxian melihat bahwa meskipun koperasi dirancang untuk mengurangi ketimpangan, struktur internal yang tidak transparan justru dapat memperkuat ketergantungan dan memarginalkan anggota kecil. Perspektif Marxian melihat koperasi melalui paradigma relasi kuasa dan kontradiksi internal. Meski secara ideal koperasi dirancang sebagai alat demokrasi ekonomi, dalam praktiknya sering mereproduksi ketimpangan yang justru ingin dihapuskan. Dalam koperasi, meski anggota secara formal adalah pemilik bersama, kontrol nyata sering dipegang oleh elite pengurus (ketua, bendahara) yang menguasai informasi dan akses keuangan. Marxian mengingatkan bahwa struktur menentukan nasib. Koperasi hanya bisa menjadi pembebas jika anggota menyadari posisinya sebagai subjek (bukan objek), ada mekanisme kontrol radikal, misalnya rotasi pengurus wajib, audit partisipatif wajib. Tanpa itu, koperasi tetap menjadi kandang domba yang dikelola serigala.
Fakta saat ini banyak koperasi mengalami kegagalan kelembagaan (institutional failure) karena lemahnya tata kelola, minimnya literasi keuangan anggota, dan kurangnya pengawasan eksternal. Hal ini menyebabkan koperasi rentan terhadap penyalahgunaan dana dan kebangkrutan.
Peluncuran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih oleh pemerintah dengan target 80.000 unit adalah dalam rangka untuk memperkuat ekonomi desa. Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, memperpendek rantai pasok dan menekan inflasi serta meningkatkan inklusi keuangan melalui simpan pinjam. Namun, tantangan implementasi terlihat dari data hanya 87% koperasi yang sudah berbadan hukum (per Juni 2025), keterbatasan notaris di daerah seperti Papua menghambat legalisasi, dan kekhawatiran duplikasi fungsi dengan BUMDes yang sudah ada.
Koperasi tidak akan pernah menjadi kekuatan ekonomi riil jika hanya dijadikan simbol belaka. Untuk mengubahnya dari sekadar konsep menjadi solusi nyata, membutuhkan langkah-langkah strategis yang menyentuh akar masalah.
Pertama, transparansi harus menjadi fokus utama. Selama ini, banyak koperasi tumbang karena pengurusnya bertindak layaknya "raja kecil" yang mengelola dana secara serampangan. Audit independen tahunan harus diberlakukan secara ketat, dengan sanksi tegas bagi yang melanggar. Laporan keuangan harus bisa diakses semua anggota, karena kepercayaan adalah modal utama koperasi.
Kedua, pemerintah perlu memastikan Koperasi Merah Putih tidak menjadi program yang tumpang-tindih dengan BUMDes. Alih-alih bersaing, kedua lembaga ini harus saling melengkapi. Misalnya, BUMDes bisa fokus pada infrastruktur desa dan layanan publik, sementara koperasi mengurusi simpan pinjam dan pemasaran produk warga. Sinergi seperti ini akan mencegah pemborosan sumber daya.
Ketiga, koperasi harus berani bertransformasi digital. Platform.kop.id yang diluncurkan pemerintah bisa dimaksimalkan untuk transparansi keuangan dan pemasaran produk anggota. Pelatihan literasi digital untuk pengurus koperasi juga penting, agar mereka tidak ketinggalan zaman dan mampu bersaing dengan keuangan digital yang ada.
Terakhir, yang paling krusial adalah pendidikan anggota. Banyak kasus penipuan koperasi terjadi karena anggota tidak paham hak dan kewajibannya. Sosialisasi tentang prinsip koperasi yang partisipatif dan demokratis harus digencarkan. Koperasi bukan tempat menitipkan uang, tapi wadah gotong royong ekonomi yang membutuhkan keterlibatan aktif semua anggotanya.
Jika langkah-langkah ini dijalankan dengan konsisten, koperasi masih memiliki peluang untuk kembali ke khittah-nya, yaitu menjadi alat perjuangan ekonomi rakyat, bukan sekadar proyek politis yang dirayakan setahun sekali. Tantangannya besar, tapi bukan mustahil. Sebab, seperti kata Bung Hatta, Koperasi didirikan untuk berjuang, bukan untuk cari enak.
Selamat Hari Koperasi. Saatnya mengevaluasi, bukan sekadar memperingati.