Rektor UMY: Masalah Keamanan Siber Bukan Teknologi, tapi Manusia dan Regulasi

Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc., menegaskan bahwa persoalan keamanan siber (cyber security) dalam tata kelola pemerintahan digital tidak hanya berkaitan dengan kelemahan teknologi, melainkan juga disebabkan oleh faktor manusia dan lemahnya sistem regulasi.

Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Nurmandi dalam Seminar Nasional dan Rapat Kerja KAPSIPI & ADIPSI yang berlangsung di Universitas Diponegoro, Semarang, Sabtu (25/10). Dalam forum bertema “Digital & Sustainable Governance, Policy, and Politics in Public Sector” itu, ia mendorong para akademisi dan pakar pemerintahan untuk mengambil peran lebih aktif dalam memperkuat kebijakan serta tata kelola digital di sektor publik.

“Masalah cyber security di Indonesia bukan terletak pada teknologinya, tetapi pada manusianya. Banyak kasus kebocoran data terjadi karena kelalaian pengguna, diantaranya lupa mengganti kata sandi, tidak menutup akses, atau membagikan data tanpa sadar,” ungkapnya.

Menurut Nurmandi, penguatan keamanan siber harus dimulai dari pembenahan regulasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Ia menilai, penerapan teknologi tanpa pengawasan kebijakan yang memadai justru berpotensi memperbesar risiko penyalahgunaan data dan gangguan terhadap kepercayaan publik.

Dalam paparannya, Prof. Nurmandi juga mengidentifikasi enam fokus utama dalam pengembangan digital government, yaitu: Media sosial dan pemerintahan, kecerdasan buatan (AI) untuk kebijakan publik, data-driven policy, demokrasi digital dan AI, keamanan siber, dan penyesuaian kurikulum pendidikan pemerintahan.

Ia mencontohkan bahwa perubahan birokrasi digital sudah terjadi secara nyata, termasuk layanan publik seperti KTP elektronik, pertanahan, hingga imigrasi yang kini berbasis face recognition dan sistem daring terintegrasi.

“Transformasi ini menuntut dunia pendidikan tinggi untuk segera beradaptasi. Kurikulum dan pembelajaran di program studi pemerintahan harus disesuaikan dengan realitas baru digital governance,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nurmandi menekankan bahwa akademisi pemerintahan memiliki tanggung jawab moral dan strategis dalam memastikan transformasi digital berjalan aman, etis, dan berkelanjutan.

“Teknologi hanyalah alat. Manusialah yang menentukan arah, nilai, dan etika penggunaannya,” pungkasnya. (FU)


BAGIKAN