Rektor UMY Soroti Pentingnya Pembaruan Teori dalam Ilmu Pemerintahan Era Digital

Perubahan cepat dalam teknologi dan dinamika politik global membawa tantangan besar bagi para ilmuwan dan pengajar ilmu pemerintahan. Hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc., dalam paparannya berjudul “Digital & Sustainable Governance, Policy, and Politics in Public Sector” pada Seminar Nasional dan Rapat Kerja Kesatuan Program Studi Ilmu Pemerintahan Indonesia (KAPSIPI) serta Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) di Universitas Diponegoro, Semarang, Sabtu (25/10).

Di hadapan ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, Prof. Nurmandi menekankan bahwa ilmu pemerintahan harus mampu beradaptasi dengan konteks zaman. Meskipun objek materialnya, yakni bagaimana kekuasaan politik mengelola negara, tidak berubah, namun pendekatan dan teori yang digunakan harus terus diperbarui agar relevan dengan realitas kontemporer.

“Pemerintahan saat ini sangat dinamis. Pemerintahan yang kita pelajari waktu kuliah dulu tentu berbeda dengan kondisi sekarang,” ujarnya.

Nurmandi mengingatkan bahwa banyak materi ajar di perguruan tinggi masih menggunakan pendekatan lama yang tidak lagi sesuai dengan praktik pemerintahan modern. Ia mencontohkan perubahan drastis dalam dunia transportasi, di mana sistem taksi konvensional telah digantikan oleh model digital seperti Grab dan Gojek.

“Kita sering masih mengajarkan model lama, padahal dunia sudah berubah. Dulu kita bicara taksi konvensional, sekarang semuanya sudah berbasis aplikasi. Kalau kita tidak memperbarui materi, maka mahasiswa tidak akan memahami konteks pemerintahan yang sedang mereka hadapi,” tegasnya.

Selain perubahan ekonomi dari kapitalisme fisik ke kapitalisme algoritmik, Nurmandi juga menyoroti munculnya fenomena baru dalam tata kelola pemerintahan digital, seperti peran buzzer, strong reviser, hingga interaksi langsung warga dengan pemimpin melalui media sosial. Menurutnya, semua fenomena tersebut kini menjadi bagian dari praktik kekuasaan dan komunikasi politik yang perlu dipetakan secara ilmiah.

“Praktik pemerintahan hari ini jauh lebih kompleks. Ada isu digitalisasi, big data, algoritma, dan partisipasi warga yang tak lagi linear. Karena itu, ilmuwan pemerintahan harus mampu memetakan fenomena-fenomena baru ini agar teori yang diajarkan tetap valid dan relevan,” jelasnya.

Prof. Nurmandi menutup dengan menegaskan pentingnya transformasi kurikulum dan riset pemerintahan agar tidak terjebak dalam pendekatan klasik yang sudah usang. Menurutnya, ilmu pemerintahan masa depan harus bersifat interdisipliner, menggabungkan teknologi, etika publik, dan keberlanjutan dalam analisisnya.

“Kalau tidak berubah, kita akan kehilangan konteks. Tugas kita sebagai akademisi bukan hanya mengajarkan teori, tetapi juga membaca ulang praktik kekuasaan yang kini semakin digital, terbuka, dan dinamis,” pungkasnya. (FU)


BAGIKAN