Di era di mana layar digital menyala setiap detik, bisakah buku dengan kertasnya yang usang dan halamannya yang bisu masih menggetarkan jiwa? Ya. Karena buku bukan sekadar tumpulan kata, melainkan senjata diam-diam yang pernah menggulingkan tirani, melahirkan revolusi, dan mengubah seorang anak desa menjadi Einstein.
Tapi kini, perpustakaan rumah bagi buku-buku itu dituduh kuno. Pustakawan, sang penjaga gerbang ilmu, dianggap tak relevan. Benarkah? Artikel ini adalah panggilan untuk membuktikan bahwa di tengah banjir informasi digital, pustakawan dan perpustakaan fisik justru menjadi mercusuar yang mencegah kita tenggelam dalam samudra hoaks. Bersiaplah. Karena yang akan kita bahas bukan sekadar relevansi, tapi senjata rahasia untuk melahirkan generasi yang tak hanya pintar mengklik, tapi juga kritis berpikir.
"Aku adalah produk dari perpustakaan umum. Ketika kekuatan dirampas dari rakyat, buku adalah amunisi terakhir." (Ray Bradbury)
Peringatan Hari Pustakawan Indonesia pada tanggal 7 Juli yang ditetapkan oleh Kemendikdasmen menjadi momentum untuk merefleksikan peran pustakawan dan perpustakaan di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai gudang buku, tetapi juga sebagai pusat pembelajaran, interaksi sosial, dan penguatan literasi. Namun, di era digital, eksistensinya dipertanyakan: Apakah perpustakaan fisik dan pustakawan masih relevan?
Dalam perspektif sosiologi pendidikan, perpustakaan bukan hanya tempat menyimpan buku, tetapi juga ruang interaksi sosial dan budaya. Perpustakaan berfungsi sebagai tempat pembentukan komunitas literasi, di mana terjadi diskusi, bedah buku, dan kegiatan kolaboratif lainnya. Perpustakaan sebagai penjaga warisan budaya, karena koleksi fisik buku-buku klasik dan lokal seringkali tidak tersedia dalam bentuk digital.
Namun, di era digital, minat baca masyarakat beralih ke sumber online, sehingga perpustakaan harus beradaptasi agar tetap relevan. Pustakawan kini tidak hanya mengatur katalog buku, tetapi juga harus memiliki literasi digital untuk membantu pengguna menyaring informasi yang valid di tengah banjir data internet. Menjadi mentor literasi yang membantu generasi muda tetap terhubung dengan dunia buku, mengembangkan layanan hybrid, dengan perpustakaan digital (e-book, audiobook) dengan tetap mempertahankan koleksi fisik.
Meskipun internet menyediakan informasi instan, tidak semua masyarakat memiliki akses yang setara, daerah terpencil masih bergantung pada perpustakaan fisik karena keterbatasan infrastruktur digital. Generasi tua dan anak-anak mungkin lebih nyaman dengan buku fisik dibandingkan e-book. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan tetap penting sebagai penyeimbang ketimpangan literasi.
Dari perspektif sosiologi pendidikan, perpustakaan dan pustakawan tetap relevan di era digital, tetapi harus beradaptasi dengan fungsi baru sebagai pusat literasi, inovasi, dan pemerataan akses pengetahuan. Selamat Hari Pustakawan Indonesia! Mari terus menjadikan literasi sebagai fondasi kemajuan bangsa.
* Puji Qomariyah
Mahasiswa S3 IP-Sosiologi Pendidikan UNY dan Dosen Sosiologi UWM