Presiden Prabowo Subianto pada Senin (8/9) secara mengejutkan melakukan perombakan (reshuffle) kabinet dengan mengganti lima menteri. Keputusan ini dinilai sebagai respons langsung terhadap dinamika politik terkini, terutama desakan dari gerakan “17+8” yang menuntut perbaikan kinerja pemerintah dan transparansi.
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY, Dr. Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si., dalam wawancara eksklusif melalui pesan Whatsapp pada Senin malam (8/9), menilai reshuffle ini sebagai langkah strategis yang berupaya menjawab ketidakpuasan publik. Menurutnya, ada setidaknya tiga dampak yang dapat dihasilkan dari kebijakan ini:
Pertama, upaya ini dapat meredam tensi politik dan mendorong stabilitas. Tunjung menjelaskan bahwa reshuffle ini berfungsi sebagai katup pengaman untuk mengurangi ketegangan politik. Dengan mengganti menteri-menteri yang dianggap bermasalah atau menuai protes, pemerintah menunjukkan keseriusan dalam mendengarkan aspirasi rakyat.
“Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi sendiri menyatakan, salah satu pertimbangan perombakan kabinet adalah gejolak demonstrasi akhir Agustus 2025 lalu,” ujar Tunjung,
Kedua, dapat meningkatkan optimisme publik. Reshuffle juga dilihat sebagai momentum untuk memulihkan optimisme masyarakat. Tunjung berpendapat, menteri baru yang dapat menawarkan kebijakan pro-rakyat, berkeadilan, dan solutif akan memicu harapan baru di tengah masyarakat yang sempat kecewa dengan beberapa kebijakan sebelumnya yang dianggap tidak populis.
Ketiga, legitimasi politik kembali terbangun. Menurutnya, hal ini dapat mengembalikan kepercayaan publik yang menurun drastis belakangan ini. Peningkatan legitimasi politik ini tidak hanya penting untuk empat tahun ke depan, tetapi juga menjadi investasi politik yang berharga bagi pemerintah.
“Reshuffle ini mengirim pesan bahwa Presiden Prabowo serius melakukan perbaikan sesuai aspirasi rakyat,” kata Tunjung.
Dari sudut pandang ilmu pemerintahan, Tunjung menganalisis bahwa ada tiga alasan utama di balik reshuffle, yaitu alasan kinerja, politis, dan yuridis.
Alasan pertama, penggantian menteri dapat terjadi akibat kinerja yang dianggap tidak optimal, terutama di bidang-bidang krusial seperti ekonomi yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Reshuffle ini juga bisa menjadi respons politis untuk meredam ketegangan akibat ketidakpuasan publik terhadap seorang menteri atau wakil menteri yang kontroversial.
“Alasan ketiga yakni yuridis. Kasus hukum, seperti korupsi yang menjerat mantan wakil menteri tenaga kerja, juga menjadi pemicu reshuffle untuk memastikan tugas pemerintahan tidak terganggu,” ujar Tunjung lagi.
Rekomendasi untuk Menteri Baru: Ciptakan “Quick Wins”
Tunjung menekankan bahwa reshuffle saja tidak cukup. Para menteri baru harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk membuktikan keberpihakan mereka kepada rakyat.
“Menteri baru harus segera menyelesaikan berbagai persoalan yang menjadi penyebab kemarahan publik,” tegas Tunjung. Ia menyarankan para menteri untuk membuat program-program “quick wins” dalam 100 hari pertama masa jabatan mereka, khususnya di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan yang menjadi sorotan utama publik.
Selain itu, para menteri diimbau untuk menghindari pernyataan kontroversial yang justru dapat memicu kegaduhan baru. “Kemampuan komunikasi politik dan public speaking harus terus ditingkatkan,” pungkasnya, agar langkah presiden tidak menjadi sia-sia. (FU)