MK Dinilai Abaikan Aspek Kualitas Pemimpin dengan Tolak Kenaikan Syarat Pendidikan Capres-Cawapres

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak gugatan yang meminta agar syarat pendidikan minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dinaikkan dari lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi minimal Sarjana (S1). Putusan ini memunculkan beragam tanggapan, salah satunya dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D., yang juga pakar Hukum Tata Negara.

Iwan menghormati putusan MK yang berpandangan melindungi hak warga negara untuk mencalonkan diri. Namun, ia menilai MK kurang mempertimbangkan kepentingan publik dalam memastikan kualitas calon pemimpin bangsa.

“Seharusnya MK juga melihat aspek peningkatan kualitas orang-orang yang akan dijadikan calon presiden atau wakil presiden dengan menaikkan standar pendidikan. Itu substansinya,” tegas Iwan saat ditemui di ruang Dekan Fakultas Hukum UMY, Rabu (1/10).

Secara pribadi, Iwan mendukung syarat minimal pendidikan capres-cawapres dinaikkan menjadi S1. Menurutnya, di negara sebesar Indonesia yang memiliki lulusan S1, S2, dan S3 dalam jumlah besar, bukan hal sulit untuk mencari calon pemimpin dengan kualifikasi tersebut.

“Untuk melamar pekerjaan saja banyak yang mensyaratkan minimal S1. Presiden adalah top leader yang akan memimpin negara. Bayangkan jika tingkat pendidikan presiden lebih rendah dibanding sebagian rakyatnya, secara psikologis itu bisa menimbulkan persoalan,” ujarnya.

Iwan mencontohkan, banyak negara maju dipimpin oleh tokoh yang merupakan lulusan universitas-universitas ternama, mencerminkan visi dan kapasitas yang kuat dalam membangun bangsa.

MK dalam putusannya menilai peningkatan syarat pendidikan berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara. Namun, Iwan berpandangan berbeda. Ia menilai hak memilih memang sebaiknya diperluas, tetapi hak untuk dipilih harus mempertimbangkan kualifikasi.

“Hakim saja minimal S1, tidak ada hakim utama lulusan SMA. Maka seharusnya presiden, sebagai pemimpin tertinggi, memiliki kualifikasi pendidikan yang baik karena ia menjadi teladan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Iwan menyoroti alasan MK menolak gugatan tersebut. Menurut MK, menaikkan syarat pendidikan adalah ranah legislatif melalui pembentukan undang-undang, bukan kewenangan MK.

“MK mengatakan hanya berwenang membatalkan pasal yang bertentangan dengan konstitusi. Jika ingin mengubah norma, itu wilayah DPR, bukan MK,” jelasnya.

Meski MK konsisten menolak membuat norma baru dalam hal ini, Iwan menilai substansi putusan tersebut menimbulkan kekhawatiran. Negara berisiko kehilangan kesempatan untuk memastikan calon pemimpin memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi dan sejalan dengan kebutuhan bangsa ke depan. (Jeed)


BAGIKAN