Desentralisasi politik dinilai sebagai kunci penting dalam mendorong reformasi ekologis di Indonesia. Krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan bukan sekadar persoalan degradasi ekosistem, tetapi turut dipicu oleh struktur kekuasaan yang terlalu tersentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Sentralisasi tersebut telah menciptakan ketimpangan besar antara negara, korporasi, dan masyarakat, sehingga upaya penyelamatan lingkungan berjalan tidak demokratis dan kerap mengabaikan kepentingan warga lokal.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rijal Ramdani, MPA., Ph.D., dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia yang digelar pada Kamis (20/11) di Ruang Studium General Fakultas Teknik UMY.
Rijal menjelaskan bahwa akar persoalan ekologis kerap berhubungan langsung dengan cara negara mengatur dan menguasai sumber daya alam. Ia menyoroti fakta bahwa 68% daratan Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan negara, yang berdampak pada terpinggirkannya masyarakat lokal dari akses terhadap sumber daya yang sebenarnya menopang kehidupan mereka.
“Negara bukan hanya mengambil alih akses, tetapi juga menggunakan pendekatan koersif untuk mempertahankan penguasaan, sembari membuka ruang bagi kepentingan korporasi besar. Ini berbanding terbalik dengan amanat konstitusi yang mestinya menempatkan kemakmuran rakyat sebagai tujuan utama penguasaan negara atas SDA,” ujar Rijal.
Ia menilai bahwa sentralisasi kekuasaan justru kembali menguat dalam beberapa tahun terakhir. Setelah masa desentralisasi sempat memberi ruang bagi pemerintah daerah, kini terjadi recentralization dalam banyak aspek pengelolaan SDA. Kondisi ini memunculkan paradoks: Ketika kewenangan diberikan tanpa akuntabilitas, korupsi di tingkat daerah rentan terjadi; namun ketika tanggung jawab dibebankan tanpa kewenangan dan dukungan sumber daya, pemerintah daerah berubah menjadi institusi kosong tanpa kapasitas menyelesaikan persoalan ekologis di wilayahnya.
“Di banyak daerah, pemerintah lokal diminta menyelesaikan persoalan sampah, kebakaran hutan, hingga mitigasi bencana. Tetapi anggaran, otoritas, dan instrumen teknis justru berada di tangan pusat. Pola sentralistik seperti ini menghambat respons cepat dan efektif terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di tingkat lokal,” jelasnya.
Rijal menegaskan pentingnya menghadirkan kembali desentralisasi politik dalam pengelolaan SDA secara demokratis dan partisipatif. Desentralisasi, menurutnya, bukan sekadar memindahkan kewenangan, tetapi memastikan adanya keseimbangan antara otoritas, akuntabilitas, pendanaan, serta kapasitas institusi. Tanpa itu semua, upaya penyelamatan lingkungan hanya akan berhenti menjadi jargon birokratis tanpa menyentuh akar masalah.
Meski demikian, ia menekankan bahwa reformasi ekologis tidak cukup hanya melalui perubahan struktur kekuasaan. Transformasi etis di tingkat warga negara tetap menjadi fondasi penting. Praktik sederhana seperti mengurangi sampah, menghemat energi, hingga membawa peralatan makan sendiri adalah bentuk moralitas ekologis yang perlu diperkuat untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam. “Perubahan ekologis tidak hanya soal kebijakan dan negara, tetapi juga karakter warganya,” pungkas Rijal. (ID)