Pakar Hukum Lingkungan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nashrullah, S.H., S.Ag., MCL., menilai bahwa polemik izin tambang di Raja Ampat bukan hanya persoalan kerusakan lingkungan, melainkan juga menyingkap kelemahan serius dalam sistem pengawasan perizinan di Indonesia. Menurutnya, penerbitan izin yang bertentangan dengan regulasi merupakan sinyal kuat adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat yang mengeluarkan izin tersebut.
Nashrullah menjelaskan bahwa sejak awal pemerintah telah memiliki instrumen hukum yang tegas, salah satunya Pasal 35 huruf (i) Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang kegiatan penambangan mineral di pulau kecil dan perairan sekitarnya. Namun dalam praktiknya, berbagai izin justru diterbitkan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan tanpa mengindahkan norma hukum yang berlaku.
“Masalahnya bukan hanya soal lingkungan yang rusak, tetapi soal bagaimana izin itu bisa keluar. Jika izin yang jelas-jelas bertentangan aturan tetap diterbitkan, artinya ada rantai pengawasan yang tidak bekerja. Bahkan bisa jadi terdapat kewenangan yang digunakan tidak sebagaimana mestinya,” ujarnya kepada Humas UMY pada Kamis (20/11).
Ia menegaskan bahwa setiap pejabat pemerintah wajib mematuhi prinsip kehati-hatian dan asas kecermatan administratif. Ketika sebuah izin terbit secara bertentangan dengan ketentuan hukum, tindakan tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam kondisi tertentu, keputusan itu dapat masuk kategori maladministrasi hingga penyalahgunaan kewenangan.
“Kasus perizinan tambang di pulau kecil menunjukkan adanya celah besar dalam sistem pengawasan, baik internal eksekutif maupun pengawasan publik. Ketertutupan informasi perizinan membuat masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam mengawasi,” jelasnya.
Nashrullah juga menekankan bahwa pengawasan tidak boleh berhenti pada pemeriksaan dokumen administratif semata. Pemerintah perlu memastikan setiap izin telah melalui verifikasi hukum, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang valid, serta pertimbangan spasial yang sesuai. Tanpa proses tersebut, izin akan mudah dipengaruhi kepentingan ekonomi jangka pendek yang justru merugikan masyarakat dan ekosistem.
“Perizinan tidak boleh dikendalikan oleh kepentingan sesaat. Jika pejabat mengabaikan aturan demi memprioritaskan kepentingan tertentu, itu jelas termasuk penyalahgunaan kewenangan. Negara tidak boleh membiarkan hal semacam ini terus berulang,” tegasnya.
Ia berharap pencabutan izin tambang di Raja Ampat menjadi momentum untuk memperkuat fungsi pengawasan, meningkatkan transparansi informasi publik, dan menutup ruang penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurutnya, kasus ini harus menjadi peringatan bahwa reformasi tata kelola perizinan mendesak untuk dilakukan agar tidak terulang di wilayah lain. (NF)