Bagi Aisyah Nabhan Syahidah, yang akrab disapa Nabhan, seorang mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) angkatan 2022, Thailand bukan sekadar negeri penuh kuil megah dan kuliner eksotis. Negara yang dijuluki Negeri Gajah Putih itu kini menjadi panggung perjalanan akademik sekaligus proses menemukan jati dirinya. Sejak 30 Oktober 2025, Nabhan resmi menjalani program student exchange di Walailak University, sebuah langkah berani yang telah lama ia impikan.
Keinginan untuk belajar di luar negeri sebenarnya sudah ia simpan sejak kecil. Namun baru di semester lima, pintu itu benar-benar terbuka. Walailak University, kampus yang terdaftar dalam peringkat Times Higher Education (THE), menjadi pilihannya. Tidak hanya karena reputasi internasionalnya, tetapi juga karena harapan Nabhan untuk menemukan versi dirinya yang lebih mandiri, percaya diri, dan berani menghadapi tantangan baru.
Perjalanan menuju Thailand tidak berjalan mulus. Untuk mendapatkan izin orang tua, Nabhan harus menyiapkan rencana matang, mulai dari tujuan keberangkatan, rincian anggaran, biaya hidup, hingga gambaran aktivitas selama belajar di Thailand. “Rasanya seperti sidang proposal,” kenangnya. Restu orang tua baru ia dapatkan pada Juli 2025, setelah melalui serangkaian diskusi yang cukup menegangkan. Berbagai dokumen pun segera ia selesaikan, dibantu oleh dukungan UMY berupa subsidi Rp3 juta, pembebasan SPP variabel, dan penundaan DPP satu semester.
Tantangan nyata mulai ia hadapi ketika tiba di Thailand. Bahasa Thailand yang asing memaksanya bertumpu pada bahasa Inggris dalam hampir semua aktivitas. Mencari makanan halal juga tak mudah, ditambah jarak kantin yang harus ditempuh dengan bus kampus. Konversi mata uang dan dinamika sosial yang berbeda jauh dari Indonesia membuat proses adaptasi semakin kompleks. Namun Nabhan, yang terbiasa merantau sejak SMP, mampu berdiri tegak. “Ini sudah ketetapan terbaik dari Allah,” ujarnya. Rindu rumah tetap ada, tetapi telepon rutin dengan keluarga menjadi sumber kekuatan.
Walailak University memberikan sambutan yang hangat. Setibanya di bandara, Nabhan dijemput langsung oleh dosen dan buddies kampus yang mendampinginya selama empat hari. Setiap akhir pekan, mereka mengajak para mahasiswa internasional menjelajahi Nakhon, mengunjungi Pantai Khanom, kuil-kuil bersejarah, hingga museum tanpa dipungut biaya. Asrama gratis dengan fasilitas lengkap, lingkungan kampus yang bersih, transportasi bus kampus yang terjadwal, dan budaya pemilahan sampah membuat Nabhan merasa sangat dihargai sebagai mahasiswa internasional.
Di ruang kelas, suasana belajar terasa hidup. Metode pengajaran aplikatif, diskusi interaktif, serta gaya mengajar dosen yang berenergi membuatnya semakin termotivasi. Meski awalnya minder karena kefasihan bahasa Inggris mahasiswa lokal, ia mengubah rasa ragu itu menjadi dorongan untuk belajar lebih giat. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, ia sering mengandalkan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan warga lokal, pengalaman yang justru memperkaya proses adaptasinya.
Tinggal di lingkungan internasional membuka perspektif baru bagi Nabhan. Bahasa Inggris kini ia maknai sebagai jembatan budaya yang memperluas cara pandang, bukan sekadar mata kuliah di ruang kelas. Dari proses adaptasi, pertemanan, dan kegiatan akademik, ia mulai memetakan masa depan: Mengikuti jejak pendidikan lanjut dan menjadi pendidik kreatif yang siap bersaing secara global.
“Program exchange ini bukan hanya menambah pengalaman, tetapi juga menguatkan karier yang ingin saya capai sebagai pendidik internasional,” ungkapnya. Kepada mahasiswa lain, Nabhan berpesan, “Jangan takut mengambil keputusan besar. Kesempatan tidak datang dua kali. Exchange adalah investasi berharga untuk karakter dan cara pandang kita terhadap dunia.”
Dari Yogyakarta menuju Nakhon, dari mimpi masa kecil menjadi perjalanan nyata, kisah Nabhan menegaskan bahwa keberanian melangkah selalu membuka pintu-pintu yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. (FU)