Hilangnya dua demonstran, Reno Syachputra Dewo dan Muhammad Farhan Hamid, sejak Agustus lalu bukan hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, tetapi juga menimbulkan dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius. Hingga kini keberadaan keduanya masih misterius, sementara ketiadaan informasi resmi dari negara membuat kasus ini semakin menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
Pakar HAM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nanik Prasetyoningsih, S.H., M.H., menilai hilangnya dua demonstran tersebut dapat dikategorikan sebagai enforced disappearance atau penghilangan paksa. Menurutnya, praktik seperti ini termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) yang seharusnya tidak boleh dibiarkan terjadi di negara hukum.
“Kalau dilihat dari perspektif HAM, hilangnya Reno dan Farhan ini termasuk pelanggaran serius. Bisa dikategorikan sebagai penghilangan paksa. Negara tidak boleh membiarkan praktik seperti ini, apalagi jika melibatkan aparat. Semua penahanan atau tindakan hukum seharusnya melalui putusan pengadilan dan prosedur yang jelas. Kalau hanya karena demonstrasi lalu ditangkap bahkan hilang, jelas itu pelanggaran HAM,” tegas Nanik saat ditemui di Kampus UMY, Rabu (1/10).
Ia menambahkan, hak untuk menyampaikan pendapat merupakan hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 Pasal 28E. Karena itu, hilangnya dua demonstran ini bukan hanya berdampak pada keluarga korban, tetapi juga menimbulkan rasa takut di masyarakat luas.
“Ini berbahaya bagi demokrasi. Ketika orang ingin bicara di ruang publik lalu justru ditangkap atau hilang, itu menciptakan rasa tidak aman. Kalau negara membiarkan, masyarakat akan semakin enggan menyuarakan pendapat. Padahal kebebasan berpendapat adalah pilar demokrasi,” jelasnya.
Terkait tanggung jawab negara, Nanik menekankan bahwa pemerintah wajib melakukan investigasi cepat, menyeluruh, dan independen. Ia juga menegaskan peran Komnas HAM dalam melacak keberadaan Reno dan Farhan serta memastikan transparansi informasi kepada publik dan keluarga korban.
“Negara harus bertanggung jawab. Komnas HAM jangan diam. Mereka harus menelusuri keberadaan dua anak ini dan memberikan informasi kepada keluarga. Jangan menutup-nutupi atau memblokir akses. Negara juga wajib memastikan proses hukum jika memang ada pihak yang bertanggung jawab. Kalau negara gagal, artinya negara ingkar terhadap konstitusi,” papar Nanik.
Melihat kasus serupa yang terus berulang, Nanik menilai perlu ada regulasi tegas terkait kewenangan aparat dalam menghadapi massa demonstrasi, agar tindakan tetap proporsional dan menghormati kebebasan berpendapat.
“Masyarakat yang berdemo itu bagian dari kebebasan berpendapat. Selama tidak anarkis, itu sah dalam demokrasi. Jadi harus ada regulasi yang melindungi demonstran damai. Di sisi lain, aparat juga memerlukan aturan yang jelas agar tidak bertindak sewenang-wenang,” ujarnya.
Tak hanya itu, Indonesia juga didorong untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghilangan Paksa. Dengan ratifikasi ini, Komnas HAM akan memiliki landasan hukum yang lebih kuat untuk melakukan investigasi dan memastikan akuntabilitas negara.
Kasus hilangnya Reno dan Farhan menjadi pengingat bahwa demokrasi membutuhkan jaminan nyata dari negara atas kebebasan sipil. Tanpa penyelesaian yang tegas, Indonesia berisiko kembali terjebak dalam pola pelanggaran HAM yang menggerogoti kepercayaan publik sekaligus melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri. (NF)