Razia Pelat Aceh di Sumut Rugikan Ekonomi dan Distribusi Barang

Kebijakan razia terhadap truk berpelat Aceh (BL) di wilayah Sumatera Utara yang belakangan dilakukan pemerintah daerah setempat menuai sorotan tajam. Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si., menilai langkah tersebut tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga berbahaya bagi efisiensi perekonomian nasional.

Ditemui di ruang dosen IP UMY pada Rabu (01/10), Bambang menjelaskan bahwa pemerintah daerah memang memiliki kewenangan menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, kewenangan tersebut tidak dapat diterapkan secara serampangan hingga mengatur kendaraan dari provinsi lain.

Ia menilai kebijakan razia pelat tersebut berpotensi menimbulkan dampak sosial dan ekonomi serius. Selain menekan efisiensi distribusi barang, masyarakat pada akhirnya akan menanggung beban biaya tambahan.

“Kita tahu, di lapangan saja sopir truk sudah menghadapi berbagai pungutan liar. Jika ditambah dengan kewajiban administratif semacam ini, sama saja pemerintah daerah berperan sebagai ‘preman baru’ yang memalak angkutan barang secara resmi,” ujarnya.

Menurut Bambang, kebijakan ini tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah. Otonomi memang memberi ruang bagi daerah mencari sumber pendapatan, tetapi tidak boleh mengabaikan kepentingan ekonomi nasional. Jika terus dipaksakan, kebijakan seperti ini berpotensi memunculkan ego sektoral antar daerah yang berujung pada regulasi saling menghambat.

“Kendaraan angkutan barang sifatnya lintas provinsi bahkan lintas pulau. Kalau setiap daerah memaksa pergantian pelat nomor, distribusi barang akan terhambat dan menimbulkan biaya tinggi. Itu kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

Bambang menambahkan bahwa Undang-Undang Lalu Lintas sebenarnya sudah mengatur registrasi kendaraan yang menetap lebih dari tiga atau empat bulan di suatu daerah. Namun, aturan itu tidak berlaku bagi kendaraan angkutan barang yang terus bergerak antarwilayah.

“Masa setiap kali truk pindah provinsi harus ganti pelat? Itu absurd. Sistem administrasi tidak dirancang seperti itu,” katanya.

Meski begitu, ia tidak menutup kemungkinan bahwa turunnya transfer dana pusat ke daerah turut mendorong lahirnya kebijakan semacam ini. Menurutnya, efisiensi di tingkat pusat membuat daerah mencari cara cepat untuk menutup kebutuhan anggaran birokrasi dan pembangunan.

Namun, ia menegaskan bahwa mencari PAD tidak bisa dilakukan dengan memaksakan aturan seperti ini. Pemerintah perlu mencari cara yang lebih cerdas agar tidak merusak iklim ekonomi dan integrasi nasional.

Sebagai alternatif, Bambang mendorong pemerintah daerah memperbaiki pola belanja, khususnya dengan melakukan efisiensi birokrasi dan memangkas kegiatan seremonial yang tidak produktif.

“Banyak daerah lebih besar biayanya untuk acara makan dan perayaan dibanding operasional substansi. Kalau anggaran diarahkan ke hal-hal yang lebih esensial, beban daerah bisa lebih ringan tanpa membebani masyarakat,” pungkasnya. (ID)


BAGIKAN