Penangkapan Gubernur Riau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) kembali menegaskan bahwa praktik korupsi di sektor infrastruktur daerah masih berulang dengan pola yang sama. Meski desentralisasi telah berjalan lebih dari dua dekade, korupsi anggaran pembangunan daerah, terutama di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), tetap menjadi modus klasik yang sulit diberantas.
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ane Permatasi, M.A., menilai bahwa kasus OTT ini bukanlah fenomena tunggal, melainkan bagian dari siklus korupsi sistemik yang telah berlangsung lama di berbagai wilayah Indonesia. Ia menyoroti bahwa Provinsi Riau bahkan menjadi salah satu daerah dengan catatan korupsi kepala daerah paling buruk di tanah air.
“Kasus OTT Gubernur Riau menunjukkan bahwa pola korupsi di dinas PU berlangsung secara sporadis di banyak daerah. Riau sendiri cukup parah karena empat gubernurnya secara berturut-turut terkena OTT dengan modus korupsi yang hampir sama,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (6/11).
Ane menjelaskan, pola korupsi yang terjadi cenderung konsisten. Kepala daerah kerap tertangkap bersama pejabat dinas teknis dan pihak swasta, dengan kasus yang berkaitan pada pengaturan paket proyek pembangunan, pemberian fee proyek, hingga manipulasi anggaran. Hal ini membuktikan bahwa reformasi birokrasi belum menyentuh sektor paling strategis dan paling rawan dalam APBD, yakni belanja infrastruktur.
Menurutnya, Dinas PUPR menjadi titik paling rawan karena mengelola proyek berskala besar dan bernilai tinggi. Dalam banyak daerah, porsi belanja infrastruktur bahkan bisa mencapai sepertiga dari total anggaran daerah, sehingga menciptakan peluang korupsi yang luas.
“Dinas PUPR memegang peran strategis karena mengelola proyek bernilai besar, mulai dari pembangunan jalan, jembatan, drainase, hingga gedung pemerintahan. Dengan porsi anggaran yang besar, godaannya pun tinggi, apalagi jika sistem pengawasan dan transparansi masih lemah,” jelasnya.
Ane menyebut fenomena ini sebagai “bayangan dinas PUPR”, karena hampir semua kasus korupsi proyek daerah berujung pada relasi kuasa antara kepala daerah, birokrasi teknis, dan kontraktor. “OTT kepala daerah hampir selalu berkaitan dengan dinas tersebut. Artinya, korupsi bukan hanya tindakan individu, melainkan bagian dari jejaring kekuasaan yang mengakar,” tegasnya.
Ketika ditanya mengenai langkah perbaikan, Ane menilai bahwa pemberantasan korupsi proyek tidak bisa hanya mengandalkan penindakan setelah kasus terjadi. Ia menekankan dua langkah strategis yang perlu segera diambil pemerintah: Pertama, memperbaiki sistem pembiayaan dan tata kelola proyek agar tidak memberi ruang negosiasi transaksional dalam penyusunan dan pembagian paket pekerjaan; Kedua, memperkuat partisipasi publik dalam pengawasan melalui keterbukaan data anggaran, e-tendering, audit sosial, serta pelibatan masyarakat dalam penilaian hasil proyek.
“Selama sistem anggaran masih gelap bagi publik dan transaksi politik tetap dibiarkan, pola lama ini akan terus berulang, dari satu kepala daerah ke kepala daerah berikutnya,” pungkasnya. (ID)