Pakar HI UMY: Indonesia Masih Gunakan Pendekatan Hierarkis dalam Keamanan Maritim

Indonesia dinilai masih mengandalkan pendekatan hierarkis dalam tata kelola keamanan maritim, terutama dalam menghadapi praktik penangkapan ikan ilegal atau Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Pendekatan yang berpusat pada komando tunggal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih melihat isu IUU Fishing bukan semata persoalan ekonomi dan sumber daya laut, tetapi juga sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional.

Pandangan tersebut disampaikan oleh Dr. Rafyoga Jehan Pratama Irsadanar, dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dalam Joint Dissemination Seminar bertema “Maritime Security Governance against IUU Fishing: Comparative Study on Japan and Indonesia” yang diselenggarakan di Kyoto University, Jepang, Rabu (29/10).

Menurut Rafyoga, Indonesia perlu membangun sistem tata kelola yang mampu mengintegrasikan banyaknya lembaga yang berperan dalam sektor keamanan maritim.

“Indonesia masih menggunakan model hierarchical cooperative governance, yaitu model di mana koordinasi antarlembaga dijalankan di bawah otoritas pusat. Artinya, keputusan dan koordinasi strategis tetap berada di bawah kendali lembaga pemerintah dengan kewenangan langsung,” jelas Rafyoga.

Pendekatan tersebut, lanjutnya, tampak jelas melalui pembentukan Satuan Tugas 115 yang dibentuk pada tahun 2015 melalui Keputusan Presiden sebagai respons terhadap maraknya praktik IUU Fishing di perairan Indonesia. Satgas ini melibatkan berbagai lembaga seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI Angkatan Laut, BAKAMLA, Kepolisian Perairan, dan Kejaksaan Agung.

“Satgas ini berfungsi memusatkan koordinasi, mengurangi tumpang tindih kewenangan, serta mempercepat respons antarlembaga. Namun, hal ini juga memperlihatkan bagaimana negara memandang isu IUU Fishing sebagai ancaman keamanan nasional, bukan hanya urusan administratif,” tambahnya.

Lebih jauh, Rafyoga menilai bahwa Indonesia kini berada pada fase penting untuk merancang struktur tata kelola keamanan maritim yang lebih adaptif terhadap dinamika regional. Apalagi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang memperkuat peran Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) sebagai lembaga koordinatif utama di bidang keamanan laut.

Menurutnya, tingkat sekuritisasi yang tinggi di Indonesia menyebabkan fokus utama kebijakan maritim masih pada aspek keamanan dan kedaulatan. Hal ini berbeda dengan Jepang, yang cenderung menerapkan model polycentric collaborative governanc, yaitu sistem di mana berbagai lembaga berbagi peran dan tanggung jawab secara seimbang tanpa harus berada di bawah satu komando langsung.

“Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan sistem tata kelola maritim yang lebih inklusif dan kolaboratif, tanpa kehilangan efektivitas koordinasi di tingkat pusat. Pendekatan ini dapat menjadi jalan tengah antara keamanan dan efisiensi,” tutur Rafyoga.

Kegiatan diseminasi ini merupakan bagian dari kolaborasi riset antara UMY dan Kobe City University of Foreign Studies, bekerja sama dengan Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University, serta didukung oleh The Sumitomo Foundation.

Rafyoga menutup paparannya dengan menegaskan bahwa semakin tinggi tingkat sekuritisasi terhadap isu keamanan maritim, semakin besar kecenderungan negara membangun sistem yang terpusat dan hierarkis.

“Pola ini memang efektif untuk menghadapi ancaman jangka pendek, tetapi untuk jangka panjang, Indonesia perlu membangun mekanisme tata kelola kolaboratif agar koordinasi lintas lembaga berjalan lebih berkelanjutan,” pungkasnya. (ID)


BAGIKAN