Di tengah meningkatnya mobilitas global dan pernikahan lintas negara, isu kewarganegaraan ganda kembali menjadi sorotan. Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., menyoroti kompleksitas status warga negara ganda yang kerap dihadapi oleh diaspora Indonesia, khususnya di Turki.
“Menjadi warga negara ganda tidak sesederhana memiliki dua paspor. Ada batas-batas hak politik dan sosial yang tidak selalu disadari,” ujar Zuly saat dihubungi, Rabu (29/10).
Pernyataan tersebut disampaikan setelah keikutsertaannya dalam program pengabdian masyarakat UMY yang digelar di Indonesia Community Center KBRI Ankara bersama Komunitas Gelin Indonesia Ankara, Sabtu (25/10) lalu. Dalam kesempatan itu, Zuly memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi oleh diaspora Indonesia yang menikah dengan warga Turki atau telah menjadi penduduk tetap di sana.
Zuly menjelaskan bahwa warga negara ganda di Turkiye hanya memiliki hak politik sebagai pemilih, namun tidak dapat mencalonkan diri sebagai pejabat publik. “Mereka bisa memilih presiden, anggota parlemen, atau kepala daerah, tapi tidak bisa maju sebagai kandidat. Haknya berhenti pada hak memilih, bukan hak untuk dipilih,” tegasnya.
Selain keterbatasan politik, warga negara ganda juga menghadapi perbedaan hak kepemilikan properti. Di Turkiye, warga non-asli hanya memiliki status kepemilikan sementara atau hak guna bangunan, bukan hak milik penuh. “Mereka tidak bisa memiliki properti secara permanen seperti warga negara asli. Ini menunjukkan bagaimana hukum masih menempatkan mereka di antara dua sistem,” jelasnya.
Zuly menilai bahwa adaptasi sosial menjadi aspek penting bagi para diaspora, tidak hanya dalam konteks fisik seperti iklim atau cuaca ekstrem, tetapi juga dalam aspek budaya, sistem pendidikan, ekonomi, dan struktur sosial. “Adaptasi non-fisik, seperti bahasa, nilai budaya, hingga pola interaksi sosial, menjadi kunci agar tidak muncul persoalan sosial di masyarakat tempat mereka tinggal,” ungkapnya.
Ia menambahkan, fenomena serupa juga terjadi di berbagai negara seperti Jepang, Korea Selatan, Kanada, Prancis, Belanda, dan Jerman, yang umumnya disebabkan oleh pernikahan lintas negara atau status izin tinggal permanen yang kemudian mengarah pada kewarganegaraan ganda.
Melihat realitas tersebut, Zuly mendorong agar pemerintah Indonesia memperkuat kebijakan perlindungan hukum bagi diaspora yang memiliki status ganda. “Negara perlu hadir dengan aturan yang jelas agar warga Indonesia di luar negeri tetap terlindungi hak-haknya tanpa kehilangan rasa kebangsaan,” tegasnya.
Menutup pembicaraan, Zuly mengingatkan pentingnya menjaga solidaritas antar-diaspora. “Di mana pun berada, mereka tetap membawa nama Indonesia. Jagalah martabat, persaudaraan, dan loyalitas pada negeri asal,” pungkasnya. (FU)