Pakar UMY: Kebijakan Pencampuran Etanol 10% Langkah Tepat Menuju Energi Bersih Nasional

Rencana pemerintah untuk mencampurkan 10 persen etanol ke dalam bensin (E10) dinilai sebagai langkah strategis menuju transisi energi bersih dan berkelanjutan. Menurut Dr. Ir. Wahyudi, S.T., M.T., pakar Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), kebijakan ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil sekaligus mendorong pemanfaatan energi terbarukan.

“Dari sisi energi terbarukan, kebijakan ini sangat baik. Artinya, ke depan kita memang harus semakin banyak menggunakan energi yang dapat diperbarui, dan bioetanol merupakan salah satu bentuknya,” ujar Wahyudi saat dimintai keterangan, Kamis (9/10), secara daring.

Ia menambahkan bahwa langkah ini sejalan dengan kebijakan pencampuran biodiesel pada mesin diesel yang kini telah mencapai 30–40 persen dan ditargetkan meningkat hingga 50 persen dalam waktu dekat.

Selain mendukung transisi energi, penerapan E10 juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas bahan bakar. Wahyudi menjelaskan bahwa etanol memiliki angka oktan lebih tinggi dibandingkan bensin murni, sehingga mampu menghasilkan proses pembakaran yang lebih bersih, efisien, dan beremisi rendah.

Meski demikian, ia menekankan bahwa kebijakan ini memerlukan kesiapan di berbagai aspek, baik dari sisi pengguna maupun produsen. Sebagian besar kendaraan keluaran baru, menurutnya, sebenarnya sudah siap menggunakan bahan bakar campuran E10 tanpa perlu modifikasi mesin.

“Untuk kendaraan keluaran tahun 2001 ke atas, hampir semuanya sudah bisa menggunakan bioetanol E10. Jadi sekitar 80 persen kendaraan yang beredar saat ini sudah kompatibel. Hanya sebagian kecil kendaraan lama yang mungkin masih menghadapi kendala teknis karena perbedaan karakteristik bahan bakar,” jelasnya.

Kendati begitu, Wahyudi mengingatkan bahwa penerapan E10 tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Pemerintah perlu memastikan adanya uji coba menyeluruh sebelum implementasi massal dilakukan. Tahap awal sebaiknya difokuskan pada uji performa berbagai jenis kendaraan, baik roda dua maupun roda empat dari berbagai merek, untuk memastikan keamanan dan efisiensi bahan bakar tersebut.

“Masyarakat perlu diperlihatkan hasil data uji penggunaannya. Selain itu, kita juga harus memastikan kesiapan dari sisi produksi bioetanol dalam negeri. Jika supply-nya belum memadai, tentu penerapannya masih membutuhkan waktu,” paparnya lebih lanjut.

Sebagai langkah strategis, Wahyudi mendorong pemerintah untuk tidak hanya menyiapkan infrastruktur dan meningkatkan kapasitas produksi bioetanol, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam proses pengembangannya. Ia menilai, produksi bioetanol tidak harus bergantung pada industri besar, melainkan dapat dilakukan secara lokal dengan memanfaatkan bahan baku seperti tebu atau singkong.

“Bioetanol bisa menjadi peluang ekonomi masyarakat jika dikelola dengan baik. Namun tentu saja, hal ini membutuhkan kebijakan yang matang dan dukungan kebijakan dari hulu hingga hilir,” pungkasnya. (NF)


BAGIKAN