Proyek Kereta Cepat Whoosh Rugikan Negara? Ekonom UMY: Risiko Fiskal dan Investor Terancam

Proyek kereta cepat Whoosh kembali menjadi sorotan publik setelah muncul indikasi kerugian operasional dan pembengkakan biaya. Alih-alih menjadi simbol kemajuan infrastruktur nasional, proyek ini justru dinilai sebagai contoh kebijakan ambisius yang belum memberikan manfaat luas bagi masyarakat.

Pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dyah Titis Kusuma Wardani, S.E., MIDEC., Ph.D., menilai persoalan tersebut berpotensi memengaruhi sentimen investor serta keberlanjutan proyek infrastruktur strategis di masa mendatang.

Menurut Dyah, publik merasa keberatan karena proyek yang dibiayai dengan utang besar tidak dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait efisiensi belanja pemerintah dan risiko fiskal negara.

“Seharusnya proyek seperti ini bisa dinikmati masyarakat luas. Namun faktanya, penggunaannya masih terbatas dan masyarakat tetap harus menanggung biaya sendiri. Ketika jumlah pengguna rendah, proyek berpotensi merugi, dan muncul dugaan penyimpangan atau markup. Kondisi ini menurunkan kepercayaan investor karena meningkatkan persepsi risiko politik, fiskal, dan reputasi proyek infrastruktur di Indonesia,” jelas Dyah saat ditemui di Kampus UMY, Senin (3/11).

Selain menggerus kepercayaan investor, Dyah juga menyoroti potensi beban fiskal terhadap negara. Jika proyek terus mengalami kerugian, pemerintah berpotensi memberikan suntikan modal tambahan atau jaminan negara kepada BUMN yang mengelola proyek tersebut, sehingga menimbulkan tekanan langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Ketika terjadi pembengkakan biaya dan pemerintah memberikan jaminan atau dukungan kepada BUMN seperti KAI, akan muncul tekanan fiskal berupa tambahan belanja, subsidi, atau penyertaan modal negara. Laporan menyebut nilai proyek mencapai sekitar 7,2–7,3 miliar USD, disertai beban bunga dan kerugian operasional yang menekan BUMN,” paparnya.

Dyah menambahkan, beban fiskal tersebut dapat memperbesar defisit APBN, mendorong kenaikan utang negara, dan bahkan menggeser prioritas belanja publik seperti pendidikan dan kesehatan. “Pada akhirnya, masyarakat ikut menanggung beban utang tersebut,” tegasnya.

Untuk mencegah kasus serupa di masa depan, Dyah menekankan pentingnya strategi integritas pembiayaan publik, mulai dari penguatan tata kelola (governance), manajemen risiko fiskal, hingga transparansi kewajiban kontinjensi BUMN.

“Strategi kuncinya meliputi transparansi dokumen dan kontrak, pembatasan jaminan negara, pencatatan kewajiban kontinjensi dalam APBN, stress test fiskal secara berkala, serta penerapan struktur pembiayaan campuran yang tepat. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas institusi pengadaan dengan melibatkan publik dan legislatif dalam pengawasan,” ungkapnya.

Dyah juga menegaskan pentingnya penerapan sanksi tegas terhadap pelanggaran administratif, markup, maupun penyimpangan anggaran agar proyek-proyek besar ke depan lebih akuntabel dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. (NF)


BAGIKAN