Pembaca yang kreatif, saya agak berpikir ketika seorang mahasiswa memberikan komentar, “Tinggal dirumah layaknya neraka”, pada acara Talkshow IG Live terkait Toxic Parents. Apa yang sebenarnya terjadi?. Narasumber talkshow ini adalah mahasiswa yang mengalami kondisi orangtua yang tinggal berpisah. Dia sudah tidak mempermasalahkan kondisi ini. Persoalan muncul ketika salah satu orangtuanya memaksakan keinginan atau pendapatnya untuk anak. Sementara anak tidak diberikan kesempatan untuk melakukan yang diinginkannya, seolah-olah tidak dipercaya. Ketika menceritakan persoalan yang dihadapi dengan maksud untuk lebih terbuka dan meminta pendapat. Bukan saran atau penguatan yang didapatkan, namun kesalahan dan ceramah yang diterimanya. Sampai pada pertengahan talkshow seorang teman mahasiswa berkomentar seperti diatas.
Pembaca yang kreatif, di kalangan mahasiswa ketika diberikan kesempatan IG Live talkshow baik dalam kegiatan mereka sendiri dan kegiatan tugas online, mereka senang membahas terkait keluarga. Kadang istri saya yang mendengarkan obrolan ini, ikut berkomentar. Apakah orang yang belum menikah bisa berkomentar bagaimana itu keluarga? Ketika saya bertanya kepada kelompok mahasiswa yang lain, mereka tertarik ingin mengetahui bagaimana kondisi yang mereka alami ketika menjadi anak dan bagaimana gambaran ketika suatu saat nanti mereka menjadi orang tua.
Terkadang saya melihat mahasiswa berperan seolah-olah mereka berusia 40 tahun dan fasih dalam perencanaan keluarga dan bagaimana mendidik serta berkomunikasi dengan anak. Mengapa bagi sebagian orang rumah menjadi sangat tidak nyaman? Apa yang mereka rasakan dan bagaimana kita mem berikan penawar dari toxic parents ini? Berikut pandangan mahasiswa dalam kelas daring yang saya ampu.
Stella Monique berpendapat, “Ketika keadaan pandemi seperti ini mahasiswa melakukan semua kegiatan dirumah saja mulai dari proses perkuliahan, rapat dan kegiatan lainnya. Semua dilakukan melalui daring dari rumah. Sehingga muncul rasa bosan dengan kegiatan yang begitu-begitu saja. Beberapa mahasiswa tidak mendapatkan uang jajan, bahkan tidak diperbolehkan keluar rumah. Jauh berbeda dengan kegiatan normal sebelum pandemi. Semua kegiatan bisa dilakukan di luar rumah dan bertemu teman, bahkan uang jajan pun tetap lancar.”
Seorang mahasiswa yang bernama Adela May Syahputri mengatakan, “Anak yang jarang mengekspresikan dirinya kepada orang tua itu disebabkan perasaan takut, malas, sia-sia saja (percuma), karena merasa ceritapun tidak didengarkan. Kebanyakan orang tua sering melarang melakukan satu dan dua hal tanpa memberi penjelasan serta solusinya. Alangkah baiknya jika tidak sekadar melarang, namun juga memberi jalan keluar dari persoalan anak khususnya yang beranjak dewasa.”
Adapun Dinda Dennis lebih menyorot pada kondisi komunikasi dalam keluarga. Bagi Dennis, komunikasi keluarga bisa dibangun pada saat makan malam. “Momen berkumpul pada satu meja bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk saling berbagi”. Saya juga sempat berbincang dengan Mario Erlanda, seorang Presiden BEM yang mengatakan, “Semua bisa jika kita saling terbuka. Mengerti batasan antara orang tua dan anak. Mencoba mengerti posisi orang tua, dan memastikan se tiap pembicaraan kita memiliki kualitas.”
Pembaca yang kreatif, saran saya, ketika ada ke sempatan berbincang lebih lama dalam keluarga, maka cobalah. Berbincang, sejatinya tidak hanya sekadar obrolan. Hindari obrolan yang menjadi toxic seperti mengomentari fisik, perumpamaan yang tidak pantas, nyeleneh, atau memberi nama yang tidak berarti. Contoh itu semua bisa menjadikan komunikasi hambar dan membuat orang tidak nyaman.
Kita berharap, semoga kita bisa menjadi penawar dan vaksin pada setiap interaksi kita dalam keluarga, kantor, bisnis, dan orang lain.
Sehat dan sukses selalu.
Tulisan ini telah dimuat di harian Republika tanggal 13 November 2020 Rubrik Inspira halaman 8