WHO Rekomendasikan minimal 75 Persen Cukai Rokok, Peneliti UMY Sebut Indonesia Masih Tertinggal

Di tengah gencarnya kampanye pengendalian tembakau, keputusan menahan kenaikan cukai tahun ini justru dianggap sebagai langkah mundur yang mengancam masa depan kesehatan publik. Pasalnya, harga rokok yang tetap terjangkau akan semakin memudahkan masyarakat mengakses produk tembakau terutama kelompok usia muda yang masih rentan terhadap pengaruh lingkungan dan iklan.
 
Peneliti kebijakan kesehatan publik pada pusat studi Muhammadiyah Steps, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dianita Sugiyo, S.Kep., Ns., MHID menyebutkan keputusan pemerintah tersebut menunjukkan lemahnya komitmen dalam melindungi masyarakat dari bahaya tembakau.
 
Data terbaru dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia mencapai 33,5 persen, dengan kematian akibat rokok diperkirakan mencapai lebih dari 290 ribu jiwa per tahun (Kemenkes RI, 2023). Angka ini mencerminkan betapa besar dampak sosial dan ekonomi dari konsumsi tembakau terhadap negara. Dianita menilai, kebijakan cukai yang mandek justru memperparah situasi, karena akan berpotensi  menaikkan konsumsi rokok.
 
“Situasi ini sudah sangat mengkhawatirkan. Kalau sekarang tidak ada kenaikan sama sekali, artinya kita membiarkan laju konsumsi rokok terus meningkat, dan akibatnya adalah penyakit terkait konsumsinya terus meningkat. Negara seharusnya hadir dengan kebijakan yang berpihak pada kesehatan rakyat, bukan pada industri,” ujarnya saat dimintai keterangan secara daring, Senin (13/10). 
 
Ia menambahkan kelompok yang paling terdampak dari kebijakan stagnan ini adalah anak-anak dan remaja. Harga rokok yang murah membuat mereka semakin mudah mencoba dan akhirnya terjebak dalam kecanduan. Lebih ironis lagi, akses terhadap rokok di warung-warung kecil masih terbuka lebar tanpa pengawasan berarti.
 
Oleh sebab itu, Dianita menampik klaim bahwa cukai rokok di Indonesia sudah tinggi. Menurutnya, porsi cukai terhadap harga jual di Indonesia rata-rata 57 persen, masih jauh di bawah rekomendasi World Health Organization (WHO) sebesar minimal 75 persen.
 
“Beberapa negara seperti Slovakia, Bulgaria, Polandia dan Finlandia sudah di atas 80 persen. Jadi kalau Menteri Keuangan mengatakan cukai kita sudah tinggi, itu keliru. Kita justru termasuk yang masih rendah. Dan perbedaan ini mencerminkan seberapa serius suatu negara menempatkan kesehatan rakyat di atas kepentingan industri,” ungkap Dianita.
 
Selain memperkuat kebijakan fiskal melalui kenaikan cukai, Indonesia dinilai perlu mengambil langkah strategis yang lebih fundamental dalam pengendalian konsumsi tembakau. Indonesia belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau/ Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC merupakan konvensi pengendalian tembakau yang digagas oleh WHO dan telah diikuti oleh lebih dari 180 negara di dunia.
 
Menurut Dianita, ketidakikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi FCTC membuat arah kebijakan tembakau nasional kurang optimal. Padahal, konvensi tersebut tidak hanya berbicara soal cukai, tetapi juga tentang sistem perlindungan menyeluruh terhadap masyarakat dari paparan tembakau, termasuk pengaturan iklan, sponsor, dan pelabelan peringatan kesehatan.
 
“Kita ini sudah tertinggal. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi FCTC. Padahal itu adalah instrumen yang komprehensif, tidak hanya mengatur cukai, tapi juga tentang aturan iklan-promosi-dan sponsor rokok, dan juga bagaimana mencegah peredaran rokok ilegal. Jadi sering juga berkembang narasi kenaikan cukai dikaitkan dengan naiknya peredaran rokok ilegal, nah itu suatu hal yang harus diluruskan. Nggak ada hubungannya itu. Justru pemerintah harus konsisten menaikkan cukai, dan juga paralel meningkatkan pengawasan penjualan rokok untuk menghilangkan rokok ilegal. Caranya gimana, ya pengamanan supply chain dengan global tracking and tracing systems, licensing and record keeping, dan regulating sales, ada semua itu aturannya tercover dengan detail di FCTC" tuturnya.
 
Dengan meratifikasi FCTC, Indonesia tidak hanya akan memperkuat kredibilitasnya di mata dunia, tetapi juga menunjukkan keseriusan dalam mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan nomor tiga tentang kesehatan dan kesejahteraan. 
 
“FCTC ini penting diimplementasikan. Kita akan kehilangan generasi produktif karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Kalau kebijakan seperti ini terus dibiarkan, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan jadi slogan. Alih-alih Indonesia emas, yang ada malah Indonesia cemas, lemas karena rakyatnya sakit tapi rokoknya tetap murah,” tegas Dianita. (NF)


BAGIKAN