Kasus penolakan pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang berakibat pada keterlambatan penanganan hingga kematian masih terus terjadi di berbagai daerah. Peristiwa terbaru terjadi pada seorang ibu hamil di Papua yang meninggal bersama janin yang dikandungnya setelah ditolak oleh empat rumah sakit pada Senin (17/11). Fenomena ini menunjukkan bahwa sejumlah rumah sakit di Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam manajemen dan koordinasi penanganan kegawatdaruratan.
Pakar Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Qurratul Aini, SKG., M.Kes., menegaskan bahwa IGD seharusnya menjadi unit yang paling siap dan responsif dibandingkan layanan lainnya. Meski setiap rumah sakit memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) kegawatdaruratan, implementasi di lapangan sering kali tidak sesuai ketentuan. Hambatan terbesar, menurutnya, muncul dari lemahnya komunikasi dan koordinasi internal antara tenaga medis, petugas administrasi, dan penanggung jawab layanan.
“IGD adalah pintu utama penyelamatan nyawa, sehingga tidak seharusnya terhambat proses birokratis. Ketika pasien datang dalam kondisi gawat, prioritas tertinggi adalah stabilisasi dan tindakan penyelamatan, bukan menunggu kelengkapan administrasi atau rujukan formal. Masalahnya, banyak rumah sakit masih membiarkan alur administratif mendahului tindakan darurat,” jelas Aini dalam wawancara daring pada Selasa (25/11).
Ia menambahkan bahwa salah satu faktor utama terjadinya keterlambatan tindakan adalah kegagalan sistem triase dalam menentukan tingkat urgensi pasien. Pasien berisiko tinggi seharusnya langsung mendapat prioritas.
“Pelaksanaannya sering terkendala karena komunikasi antarpetugas tidak jelas, dan masing-masing menunggu instruksi. Padahal, kondisi seperti itu membutuhkan keputusan cepat. Jika keputusan harus menunggu pihak yang tidak berada di lapangan, penanganan pasti terlambat dan risikonya bisa fatal,” ujarnya.
Aini juga menyoroti budaya kerja di banyak rumah sakit yang masih berorientasi pada hierarki birokratis. Keputusan medis penting kerap tertunda karena petugas lapangan tidak memiliki keberanian mengambil langkah cepat tanpa persetujuan atasan. Menurutnya, pola kerja seperti ini menjadi salah satu penyebab utama ketidaksiapan rumah sakit menghadapi situasi kritis yang membutuhkan tindakan dalam hitungan menit.
“Rumah sakit bukan hanya soal fasilitas lengkap atau bangunan besar, tetapi tentang bagaimana sistem bekerja sebagai satu kesatuan. Ada SDM yang kompeten, prosedur yang jelas, dan kecepatan dalam bertindak. Jika komando tidak jelas, maka keselamatan pasien otomatis terancam. Kita tidak boleh menunggu korban berikutnya baru berbenah,” tegasnya.
Menurut Aini, peningkatan mutu layanan IGD harus difokuskan pada penguatan sistem manajemen, peningkatan kapasitas SDM yang mampu bekerja di bawah tekanan, serta evaluasi berkala yang dilakukan secara transparan terhadap setiap insiden medis. Langkah ini dinilai penting untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali. (NF)