Meningkatnya kasus pasien gawat darurat yang tidak mendapatkan penanganan optimal menyoroti lemahnya dukungan dan pengawasan sistemik dari pemerintah serta lembaga penyelenggara jaminan kesehatan. Pakar Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Qurratul Aini, SKG., M.Kes., menilai bahwa berbagai pihak belum menjalankan perannya secara maksimal untuk memastikan layanan emergensi berjalan sesuai standar keselamatan.
Aini menjelaskan bahwa persoalan ini harus dimulai dari penguatan peran pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan layanan kesehatan di wilayahnya. RSUD merupakan garda depan rujukan masyarakat, sehingga kesiapan fasilitas dan SDM menjadi tanggung jawab langsung pemerintah kabupaten dan kota.
“Pemerintah daerah harus memastikan bahwa setiap RSUD memiliki IGD, ICU, dan tenaga kesehatan yang kompeten dalam layanan gawat darurat. Pengawasan terhadap kinerja rumah sakit juga harus ditegakkan melalui regulasi yang jelas, termasuk kontrak kinerja direktur rumah sakit,” ungkapnya saat diwawancarai secara daring pada Selasa (25/11).
Ia menambahkan bahwa banyak rumah sakit daerah kini dipimpin oleh manajemen yang tidak memiliki latar belakang medis, sehingga pemahaman terhadap proses klinis sering kali tidak cukup kuat dan berpotensi memengaruhi ketepatan pengambilan keputusan.
Namun, kapasitas daerah tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan regulasi dan kontrol dari pemerintah pusat. Karena itu, peran Kementerian Kesehatan menjadi sangat krusial sebagai pengendali mutu nasional dalam memastikan keseragaman standar pelayanan kegawatdaruratan. Menurut Aini, standar yang ditetapkan tidak cukup hanya dipublikasi, tetapi juga harus disertai pengawasan ketat di lapangan.
“Kemenkes harus benar-benar menegakkan standar regulasi. Bukan hanya menerbitkan aturan, tetapi memonitor implementasinya. Jika terjadi kasus penolakan pasien seperti sekarang, mereka harus melakukan review dan audit sistem, bukan sekadar mencari pihak yang disalahkan. Investigasi sistemik itu penting agar ada perbaikan yang nyata,” tegasnya.
Setelah aspek fasilitas dan regulasi diperkuat, tantangan berikutnya berada pada sistem pembiayaan. BPJS Kesehatan dinilai perlu menerapkan pendekatan yang lebih fleksibel dalam proses klaim kasus gawat darurat agar tidak menghambat keputusan medis. Ketidakpastian klaim sering membuat rumah sakit bersikap defensif karena khawatir menanggung risiko finansial dalam menangani pasien kritis.
“BPJS harus menyederhanakan proses klaim gawat darurat agar rumah sakit tidak ragu menerima kasus berat. BPJS jangan hanya memberi punishment, tetapi harus ada reward bagi rumah sakit yang berhasil meningkatkan indikator keselamatan pasien,” sarannya.
Aini menegaskan bahwa pembenahan sistem kegawatdaruratan tidak hanya bergantung pada regulasi dan pembiayaan, tetapi juga pada penguatan manajemen rumah sakit dan kepemimpinan kesehatan (health leadership). Tanpa sistem internal yang kuat, mulai dari manajemen SDM, koordinasi antarunit, hingga kecepatan triase, rumah sakit akan tetap kesulitan merespons situasi kritis meskipun fasilitas dan pembiayaan telah diperbaiki. (NF)